SAAT menunggu jadwal boarding pesawat, seseorang lelaki yang duduk bersebelahan dengan saya duduk mencoba memulai percakapan. T-shirt yang saya kenakan sepertinya jadi pemicu ia menyapa karena hari itu saya mengenakan jersey yang di lengan kirinya tercetak logo kampus tempat saya kuliah dulu.

Ia juga mengaku kuliah di tempat saya kuliah. Berhubung satu almater, perbincangan pun dengan mudah tercipta. Dari kebisuan di tengah keramaian menjadi percakapan akrab yang diikat oleh kesamaan pernah belajar di tempat yang sama.

Ternyata kami hanya berbeda satu tahun saja. Saya lebih awal masuk dan ia adalah adik angkatan meski berbeda jurusan. Diskusi pun mengalir mengular ke sana kemari. Tapi ketika saling bertukar pengalaman selama kuliah, saya menangkap dua sisi yang sama sekali berbeda.

Ia bertutur bahwa selama kuliah mengalami fase-fase “kenakalan” anak muda. Menurutnya Bandung kala itu menawarkan begitu banyak kesempatan menyalurkan darah dan gairah anak muda metropolitan. Bersama teman-teman sekost-nya mereka biasa madat bersama. Jum’at malam ia dan teman-temannya kerap hang out ke tempat dugem dan baru kembali ke kost-an di Minggu sore.

Malam minggu, di sepanjang jalan Dago ia sering mencari para remaja putri yang bisa diajak bersenang-senang sambil menegak minuman beralkohol. Selepas itu mudah ditebak ceritanya, mereka menghabiskan malam yang penuh kesenangan duniawi.

Saya bertanya itu terjadi di tahun berapa? Ia menjawab sekitar tahun 2003 hingga 2004. Namun saat ini dia mengaku sudah bertobat. Ia menyadari semua salah masa muda itu sudah keterlaluan. Dia merasa beruntung tidak sampai over dosis, tidak tertangkap Polisi sehingga berakhir di jeruji, dan tidak terkena penyakit menular seksual. Tapi ia juga mengaku bahwa semua itu ia alami selagi masih kuliah.

Saya sedikit terkejut dengan penuturannya. Awalnya saya curiga dia berbohong bahwa satu almamater dengan saya. Tapi dengan beberapa pertanyaan validasi akhirnya saya yakin ia memang kuliah di sana, tetapi pengalaman kami sungguh jauh berbeda. Kami pernah berada di ruang dan waktu yang kurang lebih sama, tapi yang apa yang kami rasakan dan temui sangatlah bertentangan.

Di tahun yang sama dan di tempat yang kurang lebih sama saya mengalami betapa sejuk dan kondusifnya Bandung sebagai kota untuk belajar. Saya menemukan teman-teman yang sopan dan jauh dari urusan obat terlarang. Pergaulannya terjaga, bahkan memandang lawan jenis saja mereka tidak berani. Sedikit banyak saya terpengaruh dengan pola pergaulan seperti ini.

Di Dago, benar di tahun-tahun itu setiap Sabtu malam sepanjang jalan Dago memang penuh bak pasar malam. Saya juga sering lewat sana dan menurut saya biasa saja. Hanya keramaian biasa tempat sekumpulan anak muda yang mencoba melewati malam libur.

Dari perbincangan singkat itu saya menarik kesimpulan dalam benak sendiri bahwa kita adalah apa yang kita cari. Di tempat yang sama, di waktu yang sama, dua orang bisa mengalami hal yang jauh berbeda. Bahkan bertolak belakang sama sekali. Jika pergaulan kotor yang ingin kita cari, di lingkungan masjid juga kita mudah menjumpai para pendosa.

Begitu memasuki pesawat dan menanti si burung terbang take off saya jadi bersyukur saat itu pernah “dijaga” oleh lingkungan tempat saya bergaul. Sementara, sang teman yang baru saja berkenalan tadi sibuk mengutuki masa mudanya di lingkungan yang sama. Apa yang kita alami adalah manifestasi dari apa yang kita niatkan.

Photo credit: Hello I’m Nik on Unsplash

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaAku dan Cumi-cumi
Tulisan berikutnyaRute Berbahaya Rasa Kecewa

TINGGALKAN BALASAN