SEORANG pemuda yang tengah gundah gulana dan merasa hidupnya penuh nestapa mencoba mencari berbagai bantuan. Ia pernah mengunjungi psikolog untuk meluruhkan rasa resahnya, tapi belum kunjung menemukan titik cerah. Hidupnya masih saja kelabu.

Atas saran teman kantornya, ia pun mencoba peruntungan mengunjungi seorang tua cacat yang katanya punya ilmu rahasia bahagia. Bapak tua itu mengabdikan dirinya menjadi marbot keliling. Setiap hari ia menyambangi tiga sampai lima surau untuk dibersihkan. Meskipun sepanjang hari ia bergelut dengan urusan membersihkan sampah dan debu, tapi dari wajahnya bersinar raut bahagia.

“Coba saja kamu tanya rahasia menjadi orang bahagia kepada Pak Samiin, ia mudah dikenali, tangan kanannya buntung dan selalu pakai kemeja berwarna cream,” saran sang teman.

Pemuda itu sudah tak punya solusi atas merana hatinya. Jika pun sang teman menyarankan untuk berkunjung ke tukang nujum, akan ia sambangi juga.

Maka ia bergegas mencari Pak Samiin. Setelah menunggu dua jam di sebuah surau yang ditunjukkan temannya, ia akhirnya bertemu dengan Pak Samiin, sang marbot keliling. Ia membuka percakapan dengan memperkenalkan diri. Tak lama kemudia ia utarakan maksud kedatangannya atas rekomendasi teman sekantor.

“Apa yang kamu cari Dik?” tanya Pak Samiin setelah mendengar seksama perkenalan dan penjelasan pembuka dari pemuda itu.

“Saya ingin bahagia Pak, tolonglah ajarkan saya bisa bahagia seperti bapak. Kata teman saya bapak punya rahasia untuk bahagia.”

“Lantas, apa yang kamu punya?”

Pemuda itu tercekat sejenak. Tak disangka, Pak Samiin ternyata memungut bayaran atas jasa konsultansinya.

“Saya tidak punya apa-apa Pak. Tapi, sebutkanlah angka saya harus bayar berapa untuk mengetahui cara bahagia.”

“Kalau begitu, Adik belum punya modal untuk bahagia. Kembalilah esok, bawa ke sini apa yang paling berharga dalam hidupmu.”

Pak Samiin kemudian pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Semua ia lakukan dengan satu tangan. Tapi Pak Samiin sepertinya kok enteng sekali melakukan semua pekerjaan itu.

Pemuda itu kesal luar biasa. Menuruti nasihat teman, bukannya mendapat solusi malah cuma membuang-buang waktu saja. Esoknya ia tumpahkan kesalnya itu kepada sang kawan.

“Cobalah ikuti dulu apa maunya,” jawab si teman dengan nada memotivasi.

Pemuda itu pun dengan berat hati datang lagi ke surau yang kemarin. Lagi-lagi harus menunggu lebih dari satu jam.

“Wah…, sepertinya sudah bawa hal paling berharga nih,” Pak Samiin langsung menyapa begitu ia tiba di teras masjid. Butuh waktu dan upaya ekstra bagi Pak Samiin untuk melepas kedua sepatunya.

“Begini Pak, saya tidak punya hal yang berharga untuk saya berikan kepada Bapak. Kita persingkat saja. Kalau Bapak memang punya rahasia bahagia itu dan pasang tarif untuk membaginya, sebut angka saja Pak. Tak perlu pakai jalan misterius begini.”

“Apa yang kamu cari anak muda?”

“Bahagia Pak, saya ingin menjadi orang yang bahagia. Lelah sudah saya menjalani hidup ini tapi tak sedikitpun merasakan bahagia.”

“Bahagia seperti apa yang engkau idamkan Dik?”

“Ya…, saya tidak tahu. Bukankah harusnya saya yang mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu?” Sang pemuda sudah mulai kehabisan kesabaran.

“Bila tak dapat membawa yang paling berharga dalam hidupmu, mustahil engkau bisa merasakan bahagia.”

“Bahagia itu berasal dari sesuatu yang kita miliki. Berhentilah mencari kebahagiaan yang belum ada. Percaya sama saya, bahagia seperti itu tidak ada Dik!”

“Ruh yang masih melekat pada jasadmu, tak berharga kah itu? Kelengkapan tubuhmu yang saya lihat masyaallah sempurna dan sehat. Tak berharga kah itu? Keluarga yang engkau tinggalkan di rumah, tak bernilai kah itu semua untukmu?”

“Kumpulkan apa yang sudah engkau miliki Dik. Resapi dan bahagia akan muncul dari sana seperti mata air. Engkau tak perlu mencari-cari bahagia di tempat lain, di masa mendatang, atau dengan syarat apapun. Bahagia itu dekat sekali dengan dirimu. Engkau cuma cukup berdialog dengan hatimu, menginvetarisir apa yang sudah kamu miliki.”

“Pulanglah Dik. Tak ada bahagia yang perlu engkau cari. Ia sudah ada, tinggal engkau sapa dari benakmu yang terdalam.”

“Lalu apa hal berharga yang bapak miliki sehingga orang melihat bapak bahagia sekali?” pemuda itu masih penasaran.

Pak Samiin pun bercerita bahwa ia kehilangan tangan kanan karena kecelakaan. Ia butuh waktu lebih dari satu tahun menerima kenyataan itu. Hingga suatu hari Pak Samiin tersadar betapa bernilai tangan kiri yang masih sehat. Ia pun ingin mendermakan tangan kirinya itu untuk orang banyak sebagai wujud rasa syukurnya. Ternyata ia menemukan mata air kebahagiaan justru dari tangan kirinya yang tersisa itu. Maka, Pak Samiin mendermakan sebagian waktunya untuk membersihkan beberapa surau di sekitar tempatnya tinggal dan dari sana ia mereguk kebahagiaan diri sendiri.

Lelaki itu tak mampu menyela lagi. Nasihat singkat Pak Samiin seperti guyuran air di kepalanya yang tadinya bak lahan gersang. Seiiring marbot keliling yang berusah-susah dengan kondisi tubuhnya itu pamit, ia merasa semua resah yang bergumpal-gumpal di rongga dadanya menguap ke udara. Lalu ia pulang dengan kepala ringan. Sesampainya di rumah pemuda itu langsung ke kamarnya. Saat berhadapan dengan cermin, ia melihat bibirnya yang sudah lama datar kini telah melengkung bahagia.

Photo by Warren Wong on Unsplash

TINGGALKAN BALASAN