SAYA pernah mendapat teguran langsung dengan peringatan supaya lebih sopan sama seorang senior. Dia mengaku diutus bicara oleh senior lain yang tersinggung berat oleh ulah saya. Ketika mendapat teguran itu saya sama sekali tidak merasa marah. Prinsipnya saya setuju karena saya juga termasuk orang yang tidak senang apabila ada junior berlaku tidak sopan dengan seniornya.

Mendapat teguran seperti itu saya langsung mengucap maaf. Lalu meminta agar permintaan maaf itu diteruskan kepada senior yang merasa tersinggung. Kadang-kadang kita memang khilaf, tidak sadar bahwa perilaku kita ternyata dianggap tak sopan oleh orang lain. Atau, tutur yang telah terucap ternyata menyakiti hati orang lain. Apalagi senior, perasaannya tentu lebih sensitif bila ada junior mengeluarkan kata-kata yang tak pada tempatnya.

Supaya punya bekal memperbaiki diri, maka saya meminta agar beliau menceritakan bagian mana tingkah laku dan pola ucap saya yang dianggap tak sopan. Ia menjelaskan dengan sabar, terlihat sekali ia ingin saya tidak sakit hati juga dengan teguran tersebut. Saya menyimaknya dan mencoba mencerna dengan kepala sesejuk mungkin. Ini kesempatan baik bagi saya untuk mendapat negative feedback sebagai bahan untuk memperbaiki diri.

Ia menyampaikan bahwa senior saya yang tersinggung itu memintanya untuk menegur saya dengan tiga alasan. Alasan pertama adalah mengenai perbedaan budaya. Ini dapat saya pahami sepenuhnya. Saya lahir dan besar di budaya yang terlalu berterus terang dan dengan pilihan diksi yang bagi budaya lain tidak match. Untuk alasan tersebut saya tak boleh membela diri. Saya memang keliru. Kita yang harus mencoba menyesuaikan budaya. Prinsipnya, tidak harus ikut penuh budaya orang lain tetapi juga tidak ngotot mempertahankan budaya sendiri dengan alasan saya terlahir di lingkungan seperti itu. Harus ada penyesuaian, itu saja. Saya berarti belum berhasil menyesuaikan diri sehingga dianggap tak sopan.

Alasan berikutnya adalah sang senior yang tersinggung menanggap saya tak sopan karena tidak mau menuruti apa yang senior tersebut inginkan. Alasan ini dapat saya terima setengah. Senior pasti jengah kalau ada junior yang keras kepala dan tidak bisa diatur. Jika memang saya benar melakukan itu, jelas saya yang harus memperbaiki diri. Nah, supaya lebih terang-benderang, saya sampaikan kepadanya apakah saya boleh menjelaskan kenapa saya berbeda pandangan sehingga tidak bersedia mengikuti apa yang sang senior inginkan? Dengan bijaksana ia menjawab saya boleh bercerita dari sudut pandang saya.

Ketika menjelaskan perbedaan pandangan tersebut, sang senior perantara yang bertugas menegur itu ternyata lebih setuju dengan alasan yang saya kemukakan. Apakah ia berdusta mengaku setuju? Itu saya tidak tahu persis. Tapi menurutnya, saya tetap tidak sopan. Junior harusnya taat kepada senior. Di sinilah letak ketidaksetujuan saya. Sopan-santun menyangkut interaksi sosial. Sedangkan opini tidak ada kaitannya dengan sopan-santun. Kita bisa saja berbeda pandangan dengan tetap sopan dan hubungan baik-baik saja. Jika perbedaan tersebut membuat saya punya perilaku sosial tak baik, barulah saya terima diangap tak sopan pada senior. Pada kenyataannya, saya menilai sudah menyampaikan perbedaan pandangan tersebut dengan sopan dan tidak sembunyi-sembunyi. Jika sikap saya saat menyatakan beda pendapat dianggap tak sopan, saya dapat terima dan akan saya perbaiki. Tetapi jika berbeda pendapat adalah sesuatu yang tak sopan saya kira senior saya ini telah salah kaprah.

Ketiga, saya dinilai tidak sopan karena tidak bertanggung jawab. Bagian ini langsung saya tolak. Tidak bertanggung jawab jangan digabung dengan tidak sopan. Akibatnya akan bahaya sekali. Tanggung jawab itu bagian dari kinerja yang harus jelas akuntabilitasnya. Sementara ketidaksopanan lebih pada perasaan yang dialami orang lain saat berinteraksi. Jadi, label tak sopan karena tak bertanggung jawab saya tolak. Meskipun menolaknya dalam hati karena kalau menolak serta merta, saya khawatir senior perantara ini akan sakit hati juga. He..he…

Saya bersedia menerima konsekuensi akibat tidak bertanggung jawab. Tapi jangan dianggap tidak sopan karena itu tak berkaitan sama sekali. Lalu, saya minta penjelasan bagian tak bertanggung jawab yang dimaksud seperti apa. Khawatirnya sang senior perantara ini salah pilih diksi saja. Ia pun menjelaskan saya dianggap tidak sopan karena tidak peka membantu saat sang senior butuh bantuan. Sepertinya dia memang perlu menjernihkan perihal sopan santun dan bagaimana cara meminta bantuan. Jangan sedikit-sedikit malah jadi dianggap tak sopan. Geli saya mendengar alasan seperti itu.

Meskipun demikian, saya memilih untuk tetap meminta maaf. Senior memang cenderung merasa tak mau disalahkan. Sepertinya semua kebudayaan di dunia setuju dengan kecenderungan ini bukan? Apalah saya ini, tak mungkin dapat meruntuhkan kemapanan yang telah nyaman bagi semua orang. Untuk itu, biarlah ia bahagia dengan persepsinya tersebut.

Dari peristiwa itu yang terpenting adalah saya akhirnya belajar kalau jadi senior harusnya mengayomi bukan ingin menjadi raja yang dilayani. Bila hati kita mengayomi, sopan tak sopannya junior akan kita koreksi dengan rasa cinta. Sebaliknya, bila ingin menjadi raja yang dilayani, maka sejak awal kita sudah menempatkan para junior sebagai pesuruh yang wajib patuh. Tak patuh berarti tak menghargai senior. Ribet kan jika cara berpikir terus dipelihara?

Sumber foto: psychology-spot.com (dimodifikasi)

TINGGALKAN BALASAN