SAAT masih duduk di bangku SMA saya pernah mencicipi jadi pengayuh becak. Ada beberapa kegiatan non akademis yang pernah saya lakoni sewaktu SMA sebenarnya selain jadi tukang becak. Beternak ayam, menjual telur ayam ke warung sebelum masuk sekolah, membantu membuat kue, dan sekaligus menjual kue itu ke sekolah. Pernah juga nyambil jadi tukang ketik dokumen di fotokopian, merapikan buku di perpustakaan dengan imbalan bisa meminjam buku melebihi jatah, menjadi marbot masjid, dan banyak kegiatan seru lainnya.

Tadi pagi saya melewati sebuah pasar di Kota Bandung. Di pinggir jalan saya melihat seorang remaja yang sedang mengayuh becak membawa hasil belanjaan dari pasar. Ini pemandangan agak langka, karena biasanya tukang di becak yang ada di Bandung rata-rata sudah tinggi bilangan umurnya. Pengayuh becak remaja ini saya taksir usianya di angka 15 tahun.

Saya tiba-tiba teringat kenapa saat SMA dulu pernah menjadi pengayuh becak sambilan.

Ceritanya begini.

Di lingkungan tempat saya tinggal sewaktu SMA memang banyak sekali becak karena transportasi utama warga di sana adalah angkot dan becak. Angkot untuk perjalanan yang agak jauh, melintasi kota dan kecamatan. Sedangkan becak untuk transportasi jarak pendek dan menengah.

Suatu ketika saya menumpang becak yang ternyata dikayuh oleh seorang remaja yang usianya beberapa tahun di bawah saya. Ia sudah tidak sekolah lagi dan jikapun sekolah saat itu mungkin masih duduk di bangku SMP. Saat mengayuh becak ia harus berjungkat-jungkit karena kakinya tidak sampai untuk memutar pedal becak. Melewati jalan yang sedikit menanjak ia terlihat sangat kepayahan. Seluruh tenaga seolah habis ia curahkan untuk memutar roda becak. Begitu masuk ke jalanan yang landai cenderung menurun, ia baru melepas senyum lega.

Saya merasa tak sampai hati dengan pemandangan itu. Saya memang membayar naik becaknya dan punya hak diantarkan sampai tujuan. Tapi badan ringkihnya yang masih kecil itu membuat saya jadi tak enak hati. Maka, saya tawarkan kepadanya bagaimana kalau saya saja yang mengayuh becak di sisa perjalanan?

Dia ragu dan menggelengkan kepala tapi tak kuasa menyembunyikan lelah dan peluh yang berkucuran.

“Tidak apa-apa, saya cuma ingin olah raga saja.” Tawaran itu masih saya gencarkan.

Akhirnya dia setuju untuk berganti posisi. Saya duduk di sepeda pengendali becak, dia duduk di kursi penumpang. Ukuran sepeda itu memang sama sekali bukan untuk anak remaja. Saya saja yang sudah SMA masih kesulitan meraih putaran penuh kayuhan. Apalagi dia yang masih lebih bocah. O ya, becak yang saya maksud dalam cerita ini adalah becak dengan sepeda yang berada di samping bukan di belakang seperti kebanyakan becak di Pulau Jawa.

Setelah berjuang mengayuh di tengah sengatan matahari, akhirnya saya berhasil tiba di tempat tujuan. Saya berikan uang ongkos becak kepadanya sesuai tarif. Tapi sebelum berpisah saya tawarkan kepadanya bagaimana kalau besok sore ia datang menjemput dan kami menarik becak bersama-sama.

Tawaran lanjutan itu ia terima. Dan benar saja, esok sore remaja pengayuh becak itu datang menyambangi tempat saya tinggal. Lalu kami pergi menarik becak berdua. Saat penumpang ada, saya yang duduk di kursi utama dan dia di kursi boncengan. Begitu penumpang kosong, dia yang mengayuh becak. Begitu kami mengatur pembagian tugas.

Memang tidak setiap sore saya ikut menarik becak dengannya. Seminggu setidaknya dua atau tiga kali saya menghabiskan satu jam sebelum maghrib tiba bersamanya menarik becak. Saya tak pernah meminta bagian dari hasil menarik becak kolaborasi itu, tapi saya punya opsi naik becak gratis di luar “jam dinas” narik becak bersama.

Partner pengayuh becak saya itu hanya mengeyam pendidikan sampai kelas tiga SD. Ia bahkan belum lancar membaca. Berhitung pun masih agak lamban. Sejak kecil ia tidak tinggal dengan orang tua kandungnya. Ia tinggal di lokasi itu dengan menumpang kepada neneknya. Ia anak yang gigih tapi memang agak nakal, ya… khas nakalnya anak-anak tanpa sentuhan kasih sayang orang tua lah. Tata bahasanya masih ngaco. Tapi saya senang ngobrol dengannya meskipun obrolan kami ngawur ke sana ke mari.

Saya pernah kembali ke tempat itu sekitar sepuluh tahun setelah lulus SMA. Saya mencoba mencarinya kembali tapi tak berhasil menemukannya. Selain wajahnya pasti sudah berubah dari wajah anak remaja menjadi dewasa, saat kami menarik becak dulu ia selalu mengganti-ganti namanya. Dari tadi saya belum mempernalkan namanya bukan? Sebab, saat itu kami juga tak menggunakan nama untuk saling menyapa. Bisa juga ia sudah tak tinggal di sana lagi, tapi yang jelas saya gagal menemukannya.

Dalam ukuran saya, mengayuh becak saat itu hanyalah sekadar permainan mengisi waktu luang. Seru-seruan menjelang adzan maghrib tiba. Tapi pasti berbeda buatnya. Mengayuh atau tidak makan sama sekali.

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaOrang Belakang Layar
Tulisan berikutnyaLelah yang Tak Terbayar

TINGGALKAN BALASAN