SAYA PERNAH bertemu beberapa orang yang suka sekali memajukan alasan ia sedang bingung. Sedikit-sedikit bilang bingung. Kepentok sedikit saja masalah langsung mengeluarkan jurus, “saya bingung ini harus bagaimana?, dan seterusnya, dan seterusnya.”

Setiap kita pasti pernah merasakan bingung. Ini adalah keadaan diri yang sangat manusiawi. Penyebab dan kondisi yang membuat kita bingung juga sangatlah beragam. Saat dilanda kebingungan, rasanya serba salah. Mau ambil keputusan takut salah. Mau memulai tapi tak tahu harus apa dulu yang dikerjakan. Ketika terjebak dalam masalah, bingung bagaimana menuntaskannya. Dan berbagai varian kebingungan yang justru seringkali kita temui.

Bingung sesungguhnya reaksi alami sebagai tanda bahwa kita dalam proses belajar. Hanya saja ada tapinya. Jika melewati jendela bingung, maka bingung yang kita alami itu bukan lagi tanda belajar tetapi sudah menjadi tanda lemah. Loh kok bisa?

Yuk kita bahas jendela bingung. Sebenarnya ini istilah yang saya buat-buat sendiri. Tidak ada referensi ilmiahnya sama sekali, hanya berdasarkan pengalaman. Tetapi dari sekian banyak dipraktikkan, menurut ukuran saya jendela bingung ini cukup membantu.

Saat menghadapi masalah baru, belajar hal baru, bertemu kesulitan yang baru, dan berbagai jenis hal asing lainnya. Sementara, kita belum memiliki pemahaman baik dan minim pengalaman. Pada kondisi itu, normal sekali kita bingung. Seperti mengurai benang kusut, tidak tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu dan apa yang akan terjadi kemudian.

Kebingungan ini kemudian bisa bermuara pada dua kondisi. Kondisi pertama, kita berusaha untuk mengatasi masalah yang ada supaya tidak bingung lagi. Kondisi kedua, kita membiarkan saja gelombang bingung itu terus beriak-riak. “Toh saya bingung, mau apa lagi?” begitu seterusnya bingung itu dipelihara sehingga kita memang tidak bisa berhasil mengatasi masalah baru.

Nah… supaya tidak masuk ke kondisi kedua tadi, kita harus mengupayakan agar bingung itu tetap dalam koridor yang tepat. Caranya, batasi bahwa bingung itu maksimal hanya tiga hari saja. Selama tiga hari kita punya target mengatasi kebingungan yang ada, atau paling tidak menurunkan level kebingungan. Jika setelah tiga hari masih bingung, kita benar-benar berupaya agar bingung di hari keempat itu jauh lebih sedikit dibandingkan kebingungan di tiga hari sebelumnya. Atau, sebagai exit plan kita bisa bertanya kepada orang lain yang bisa membantu mencarikan solusi atas kebingunan kita.

Itulah yang saya maksud dengan jendela bingung: bingung maksimal tiga hari saja. Dengan begitu, kita punya waktu tiga hari berupaya maksimal untuk mengatasi kebingungan. Kenapa tiga hari? Karena itu batas psikologis bingung yang masih dapat kita toleransi. Setelah itu ia akan berubah bentuk menjadi mental exhausting, kelelahan mental yang akhirnya membuat kita tak sanggup lagi menanggungnya sehingga mending didiamkan saja atau lupakan. Artinya, setelah melewati durasi jendela bingung, kemungkinan besar bingung itu tidak membuat kita maju.

Jadi, saat bertemu orang yang selalu saja melontar alasan sedang bingung, perkenalkan padanya konsep jendela bingung. Supaya bingungnya menjadi pintu masuk pencapaian diri bukan sebagai alasan menghindari tanggung jawab.

Photo by Sasha Freemind on Unsplash (diolah)

TINGGALKAN BALASAN