SAYA sama sekali tidak alergi tampil di depan publik. Tidak merasakan juga ada kendala berarti jika harus berbicara. Tapi saya merasa jauh lebih bahagia jika berada di belakang layar. Tampil dan terkenal sepertinya bukan sesuatu yang menarik buat saya. Saya justru lebih senang orang lain muncul di panggung tapi saya ada di belakang layarnya. Buat sebagian orang, pilihan ini mungkin aneh. Tapi setiap orang boleh punya preferensi sendiri-sendiri bukan? Ternyata saya lebih prefer berada di belakang panggung.

Saya ingat pengalaman pertama berbicara di hadapan orang banyak ketika menjadi Ketua OSIS di bangku SMP. Didaulat memberikan sambutan membuat saya gemetaran. Saya menulis isi pidato yang akan saya bacakan sampai keringat menetes di dahi. Jika menulis saja sudah membuat saya berkeringat, apatah lagi saat nanti menyampaikannya? Beberapa saat menjelang tampil ke podium, saya dilanda demam panggung. Berkali-kali ke toilet untuk buang air kecil yang tidak mau diajak kompromi.

Begitu naik ke atas panggung, saya praktikkan sebuah tips pidato yang pernah saya baca di sebuah majalah: “sapulah semua audiens dengan tatapan lembut dan meyakinkan”. Ternyata tips itu jitu bak mantra ampuh sakti mandra guna. Saya merasa lebih menguasai keadaan dan bicara lancar hingga selesai. Sampai-sampai saya lupa punya naskah yang harus dibacakan. Naskah itu masih terlipat kucel di saku celana.

Sejak saat itu saya merasa bahwa bicara di depan publik bukanlah perkara sulit. Sampai kini, pengalaman pertama public speaking di masa SMP itu membekas kuat sehingga saya merasa tak terbebani jika harus tampil di depan publik. Tentu untuk urusan bicara. Jangan diminta untuk menyanyi atau bersandiwara drama. Saya sudah mencoba keduanya dan tingkat gagalnya sama-sama parah.

Setelah menimbang-menimbang diri, ternyata saya sangat menikmati proses berpikir dan berencana. Menyisir seluruh detail sebelum beraksi. Saya pernah membuat naskah drama, tapi tidak pernah memainkan drama dengan baik. Saya pernah menyusun detail rangkaian konser tapi tidak pernah menjadi aktor utama panggung konsernya. Dan, proses perencanaan itu ternyata jauh lebih saya nikmati dibandingkan naik ke panggung menuntaskan aksi.

Saya juga pernah membuat naskah pidato yang dibacakan orang lain. Seperti tadi yang sudah saya ungkapkan, bicara di depan publik sama sekali tak masalah tapi buat saya menyiapkan naskah itu lebih mengena rasanya. Pernah juga membuat naskah pidato seorang menteri. Selepas ia menyampaikan sambutan yang saya tulis itu, hadirin memberikan tepuk tangan meriah dan banyak dikutip oleh media massa. Sang menteri jelas bahagia, tapi saya jauh lebih bahagia berada di belakang layar.

Tapi pernah ada yang protes saat saya sampaikan bahwa saya orang belakang layar. Saya tak begitu suka tampil di panggung. Ternyata hal ini dianggap menyindir. Mereka menangkap bahwa saya tidak suka orang yang suka tampil di panggung. Nah…, tulisan ini untuk mengklarifikasi maksud yang sesungguhnya. Saya memang tidak suka tampil di panggung dan titik sampai di situ. Sebaliknya, saya senang membuat orang tampil di panggung. Begitu…

TINGGALKAN BALASAN