ADA sebuah kejadian menarik saat saya mengisi sebuah workshop beberapa tahun lalu, kalau tidak salah ingat peristiwa ini terjadi di pertengahan tahun 2013. Kegiatan tersebut dikemas dalam bentuk inhouse training karena pesertanya berasal dari satu institusi yang sama.

Di sesi terakhir hari pertama, salah seorang peserta bertanya mengenai laptop yang saya gunakan. Di masa itu pengguna macbook belum sebanyak sekarang. Beberapa tahun sebelumnya saya sudah pindah dari pengguna sistem operasi windows ke machintos. Kesan macbook sebagai barang mewah saat itu memang masih terasa. Tapi bukan itu alasan saya pindah mahzab komputer. Faktor pendorong utama saya menggunakan macbook adalah karena merasa risih berurusan dengan virus komputer yang selalu saja datang. Pilihan untuk menghindari berurusan panjang dengan virus-virus ini sebenarnya bisa pakai sistem operasi linux, tapi macbook punya keunggulan lain yang cocok untuk saya gunakan. Sesederhana itu saja.

Tetapi kesimpulan yang muncul di benak peserta workshop di hari pertama tersebut ternyata berbeda. Menurut mereka pakai macbook terlihat lebih keren dan elegan. Mereka juga merasa bahwa pelajaran yang saya bawakan di training tersebut berkat menggunakan macbook. Entah bagaimana kesimpulan itu bisa muncul, tapi kelak saya akhirnya bisa paham dan akan kita bahas di tulisan ini. Sabar…

Begitu kelas usai, sore ke malam hampir seluruh peserta di ruangan workshop tersebut janjian jalan-jalan di salah satu mall besar di Kota Jakarta. Saya juga diajak tetapi secara halus saya menolak dengan alasan ada persiapan yang harus saya tuntaskan untuk kegiatan besok. Alasan sesungguhnya saya ingin istirahat lebih sambil me-recharge tenaga dan fikiran.

Ternyata malam itu mereka serentak membeli laptop macbook generasi terbaru di masa itu. Di sesi pertama pagi harinya, mereka membawa laptop macbook anyar lengkap dengan kardus-kardusnya ke ruangan workshop. Maka, sehari penuh kami mengorupsi agenda dari belajar menjadi tutorial menggunakan macbook.

Apakah asumsi awal bahwa pakai macbook akan membuat mereka menguasai materi dengan baik? Sama sekali tidak. Tapi untuk bergaya karena punya macbook, mungkin bisa mereka peroleh sebab saat itu pengguna macbook belum seramai sekarang.

Dalam perjalan berikutnya, saya bertemu kembali dengan fenomena ini. Saya menyebutnya sebagai fenomena kesimpulan semu yakni menyimpulkan bahwa faktor utama keberhasilan sesuatu adalah pada hal yang kasat mata. Orang ramai-ramai membeli sepatu Nike Air Jordan karena Michael Jordan pakai sepatu Nike misalnya. Ketika membeli sepatu mahal tersebut, yang ada dalam benak jutaan penggemar Jordan adalah ia berhasil karena pakai sepatu tersebut. Padahal akal sehat kita bilang tentu bukan seperti itu bukan?

Saya mau lanjutkan cerita fenomena yang saya alami sendiri selain perihal belanja macbook ramai-ramai oleh peserta workshop di atas.

Saya pernah mengerjakan sebuah proyek fotografi dengan bekal seluruh peralatan foto saya sewa dari tempat penyewaan. Mulai dari kamera, lensa, lighting, dan berbagai pernak-pernik gear lainnya saya sewa karena peralatan yang kantor saya punya belum memadai untuk pekerjaan fotografi profesional. Saat memesan daftar peralatan yang dibawa, prinsipnya adalah gear terbaik yang sedang available di tempat penyewaan. Saya tidak bisa memundurkan jadwal pemotretan karena kamera yang saya incar ternyata sedang dipakai oleh penyewa lain. Maka saya harus mengalah dengan peralatan yang tersedia saja.

Singkat ceritanya, setelah beberapa hari menjalankan proyek di lapangan, salah seorang pendamping dari perusahaan tempat kami melakukan proyek tersebut mencatat secara detail daftar alat yang kami bawa. Awalnya saya kira itu hanya prosedur standar yang harus ia lakukan sebagai pendamping. Tapi di sesi istirahat ia mengutarakan akan membeli peralatan yang sama dengan gear yang sedang saya bawa karena ia juga punya hobi fotografi. Baginya, faktor utama foto-foto yang kami hasilkan di beberapa hari tersebut karena masalah gear. Setiap diskusi yang ia tanyakan melulu soal gear. Padahal saya yang mengoperasikan kamera sama sekali tidak ambil pusing dengan gear yang dibawa. Sepanjang sesuai dengan kebutuhan dan memiliki kinerja minimal yang saya harapkan, apapun merk & jenisnya tak jadi soal. Itu teknis saja. Sama seperti keahlian lain, dalam fotografi yang paling utama adalah penguasaan konsep dan teori serta jam terbang. Gear memang penting, tapi bukan itu prioritas utamanya. Setelah proyek selesai, pendamping sesi pemotretan tersebut pun akhirnya membeli alat yang kurang lebih sama dengan yang kami bawa. Saya tidak banyak komentar atas keputusannya itu, toh ia belanja dengan dananya sendiri. Tapi keputusannya untuk menyamakan merk dan jenis peralatan itu sesungguhnya sebuah kesimpulan semu.

Pernah juga saya punya teman yang memiliki keputusan untuk membeli semua produk yang bintang iklannya adalah Krisdayanti. Baginya Krisdayanti adalah penyanyi paling ia kagumi dan ketika itu Krisdayanti memang menjadi salah satu bintang iklan paling laris. Mulai dari sabun, shampo, setrika, dispenser, penanak nasi, dan banyak lagi. Saat saya tanya kenapa membeli setrika merk “A” misalnya, kok bukannya merk “B”? Alasannya sederhana, karena merk “A” bintang iklannya Krisdayanti.

Selain fotografi yang banyak menggunakan peralatan mahal, saya juga punya hobi dengan olah raga lari dan bersepeda. Dalam grup pehobi lari misalnya, saya menjumpai fenomena yang sama muncul kembali. Jika ada yang larinya cepat, ramai-ramai pada penasaran ia pakai sepatu merk apa, celana apa, dan kaus kaki apa. Lantas ramai-ramai membeli merk yang sama dengan bayangan yang juga sama bahwa si kawan tadi berlari cepat karena barang yang ia pakai. Semuanya seolah lupa bahwa kekuatannya berlari cepat sama sekali bukan karena sepatu tertentu. Sepatu memang penting, tapi bukan itu prioritasnya.

Ternyata, mengambil keputusan berdasarkan jangkar lahiriah nan semu ini secara sudah menjadi tabiat manusia. Aspek psikologis ini dimanfaatkan betul dalam dunia marketing. Menggunakan brand ambassador, menyewa jasa endorsement, dan meminta review produk oleh pengguna berpengaruh adalah bentuk dari memanfaatkan aspek psikologis pengambilan keputusan ini. Maka tak heran, belanja iklan perusahaan-perusahaan besar banyak yang dialihkan dari iklan konvensional ke jenis iklan yang menggunakan metode memanfaatkan aspek psikologis mengambil keputusan semu manusia tadi

Alih-alih mencari jawab atas faktor utama untuk berhasil, kita lebih memilih untuk meyakinkan diri bahwa produk yang dipakai adalah faktor determinan sebuah keberhasilan. Inilah fenomena kesimpulan semu yang saya bilang tadi. Setelah saya evaluasi diri, ternyata di beberapa keputusan membeli saya di masa lalu juga didasari oleh fenomena kesimpulan semu ini. Dan…, setelah ditimbang-timbang ulang hampir semua keputusan membeli dengan dasar kesimpulan semu tadi berujung menyesal. Ternyata tidak seindah asumsi awal sebelum membeli.

Kredit foto: Alexander Milo on Unsplash

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaLelah yang Tak Terbayar
Tulisan berikutnyaKucing Psikopat

TINGGALKAN BALASAN