FILM SERI BLACK MIRROR cukup menarik karena tema yang diangkat relatif tidak umum. Banyak sudah film fiksi ilmiah yang telah terbit, tapi “Black Mirror” punya keistimewaan sendiri. Ia adalah film dengan genre fiksi ilmiah tapi dengan pendekatan futuristik yang sepertinya terinspirasi dari fenomena kontemporer umat manusia kini. Jadi, pada setiap series-nya, kesan bahwa ide cerita yang ditawarkan seolah benaran akan mungkin terjadi.

Musim tayang (season) pertama Black Mirror diterbitkan pada 2011 dan masih berlangsung hingga saat ini dengan jumlah season terakhir memasuki bilangan enam. Dua season Black Mirror diproduksi dan ditayangkan oleh Channel 4 – Inggris dan sisanya oleh Netflix. Semua ceritanya seolah saling tidak nyambung dan memang sengaja dibuat tidak nyambung, tapi menggunakan satu pendekatan yang sama yaitu bagaimana jadinya kebudayaan manusia ketika berkelindan dengan teknologi yang saat ini kita gunakan dan terus berkembang.

Semua cerita sangat menarik dan beberapa punya plot twist yang mengganggu. Hanya saja hati-hati, film ini mendapat rate +18, jadi jangan nonton bersama anak di bawah usia tersebut. Salah satu yang membekas dan ingin saya bahas lebih lanjut adalah seri dengan judul “Men Against Fire“. Saya pernah tahu ada buku karya veteran perang dunia dengan judul yang sama, tapi apa hubungannya? Black Mirror kan selalu cerita tentang hal-hal futuristik? Ternyata memang ada kaitannya, yang penasaran bisa nonton langsung film Black Mirror di season 3 dengan judul seri Men Agains Fire.

Film ini bercerita tentang seorang tentara bernama Stripe. Ia bergabung dalam pasukan tentara yang bertugas membasmi para kecoak (roaches). Kecoak yang mereka buru digambarkan sebagai makhluk monster musuh umat manusia. Kecoak yang dimaksud bukanlah binatang kecoak benaran, melainkan manusia mutan yang harus mereka basmi karena sangat mengganggu dan berbahaya.

Stripe dan teman-teman tentaranya dibekali beberapa teknologi militer dan senjata pemusnah canggih. Salah satu teknologi yang mereka pakai diberinama MASS, sebuah teknologi yang diimplan pada tubuh serdadu sehingga mereka mampu berkomunikasi dengan efektif dan bisa mengenali para kecoak.

Pada suatu peristiwa penyerbuan, Stripe berhasil membunuh dua kecoak dan ia dielu-elukan teman setimnya atas prestasi itu. Tapi saat bergumul hidup-mati dengan salah satu kecoak, Stripe terkena pancaran cahaya yang dimiliki oleh kecoak yang ia bunuh.

Supaya tidak spoiler, kita loncat ke momen ketika teknologi MASS yang diimplan ke tubuh Stripe gagal berfungsi. Ternyata kecoa yang selama ini ia lihat sebagai monster mengerikan dan harus dibunuh adalah manusia biasa, bukan juga mutan. Pejabat militer yang merekrut mereka menggunakan teknologi MASS untuk membangun persepsi buatan terhadap beberapa manusia yang mereka sebut kelompok kecoak. Stripe akhirnya tersadar selama ini kelima inderanya telah diambil alih dan dikendalikan MASS. Makanya saat membunuh kecoak beberapa hari sebelumnya ia tak bisa mendengar teriakan dan bau amis darah dari korban ia yang bunuh.

Apa kaitannya dengan judul buku Men Against Fire? Saat Stripe dipenjara akibat dituduh membelot, ia mendapat penjelasan kenapa para tentara ditanamkan teknologi MASS. Buku itu menceritakan kenyataan lain dari perang yang kita pahami selama ini. Di perang dunia (1 dan 2), ternyata hanya 15% – 20% saja tentara yang berani menarik pelatuk senjatanya untuk membunuh lawan. Sisanya hanya sekedar menembak tak tentu arah, alasannya karena mereka tidak berani mengambil nyawa manusia.

Satu-satunya perang dengan keberanian tentara menembakkan senjata adalah perang Vietnam, yaitu di atas 75%. Tapi kebanyakan berakhir pada gangguan jiwa para serdadu selepas pulang ke negaranya. Bisa dibayangkan betapa terguncangnya mental seorang serdadu saat mengambil nyawa manusia lain. Tapi memang mereka dihadapkan pada situasi membunuh atau dibunuh. Meski berhasil menang di situasi itu, setiap tentara akan membawa pulang pengalaman mental yang sangat tak biasa dan terus membesar menjadi mengganggu kejiwaan pasca perang.

Maka, MASS merupakan solusi agar pertempuran efektif. Alasannya, semakin cepat para tentara menyelesaikan tugasnya menumpas musuh maka semakin cepat perang berakhir. Sungguh alasan yang masuk akal sekaligus sesat.

Bagi saya, yang menarik dari film ini adalah kebencian itu bisa difabrikasi yaitu dengan membentuk persepsi rasa benci yang seolah nyata. Di dunia kita saat ini, upaya memfabrikasi dan mempertahankan kebencian itu terlihat begitu nyata. Kita memang tidak dipasangi implan untuk membangun persepsi benci. Tapi cara kerjanya hampir mirip dengan berbagai rekayasa sosial dan opini. Hasilnya, bisa kita lihat di sekitar kita bagaimana label atas kelompok lain juga bermakna kelompok lain itu layak dibenci karena ya… mereka beda dan hina!

Seperti pada film Men Against Fire ini, rasa benci mereka difabrikasi oleh pimpinannya melalui implan MASS. Lalu para serdadu dilatih bertempur dengan doktrin kecoak itu layak dihabisi. Mereka percaya itu dan persepsinya menegaskan hal yang sama. Sebutan kecoak juga sama seperti sebutan-sebutan bernada hina pada kelompok lain adalah bagian dari proses membentuk persepsi rasa benci. Begitu seterusnya hingga pada suatu saat kita mampu menghabisi kelompok lain hanya dengan modal persepsi rasa benci. Terasa akrab bukan?

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaITB Ultra Marathon 2022 yang Pakai Tapi

TINGGALKAN BALASAN