AWAL 2020 lalu saya memutuskan untuk ikut mendaftar event lari kategori maraton (42 km). Alasannya, saat itu saya membutuhkan sebuah milestone agar punya program latihan lari yang lebih baik dan terstruktur.

Lalu, awal Februari 2020 tersiar kabar Jakarta Marathon akan diselenggarakan di Oktober 2020. Delapan bulan lebih sepertinya waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri. Milestone ikut race kategori maraton memang saya perlukan supaya bisa menjalani program latihan yang lebih fokus. Persiapan fisik dan mental untuk menempuh jarak lari 42 km sudah masuk kategori serius. Tidak semua semua orang bersedia menaruh komitmen untuk beban ini.

Namun, sebulan kemudian Covid-19 ikut serta menjajah Indonesia dan semua sendi kehidupan mendadak ditutup total. Semua kegiatan dibatasi dengan ketat dan harus berdiam diri di rumah. Kegiatan apa pun yang mengumpulkan banyak orang sudah pasti tidak diizinkan. Maka panitia Jakarta Marathon 2020 mengabarkan bahwa event tidak bisa digelar. Tidak ada kepastian sampai kapan, tetapi mereka menyampaikan bahwa semua peserta yang mendaftar di tahun 2020 akan otomatis terdaftar juga di event berikutnya. Tidak ada opsi refund, padahal kalau ada opsi ini saya akan memilih untuk pengembalian dana pendaftaran saja.

Setelah dunia dilanda badai pandemi, saya sudah tak menaruh minat lagi dengan Jakarta Marathon. Bahkan sudah melupakan pernah mendaftar dan membayar di event tersebut. Pada 2021, panitia kembali mengabarkan penundaan kedua. Email pemberitahuannya mereka kirim beberapa hari sebelum tanggal yang dijadwalkan semula. Panitia tidak berani mengambil keputusan untuk menyelenggarakan event dengan kumpulan orang yang begitu banyak sehingga di tahun 2021 mereka hanya diizinkan memfasilitasi 500 pelari elit.

Galau dengan Pemberitahuan Mendadak

Tak disangka, sepuluh hari sebelum Jakarta Marathon 2022 panitia mengirim email bahwa event akan mereka selenggarakan. Tepatnya di tanggal 16 Oktober 2022. Ah… padahal saya bahkan sudah lupa pernah mendaftar event ini. Bagaimana ini ya? Saya jadi bimbang berhari-hari dengan pemberitahuan dadakan seperti ini. Kalau lari 10 km masih ok lah, saya pasti langsung menyambar kesempatan itu. Tapi ini kelas maraton dan saya belum pernah lari di kategori 42 km sebelumnya.

Tadinya saya mau skip saja. Tapi setelah bertimbang-timbang dalam diri sendiri, “apa ruginya sih dicoba?” Walau tanpa persiapan sama sekali untuk menempuh jarak 42 km, saya memutuskan untuk melewati kilometer demi kilometer dengan strategi santai saja. Yang penting finish sehat dan kuat. Lantas saya menghitung-hitung kapasitas diri selama ini dan menggunakan skenario lari santai tadi. Maka di Jakarta Marathon saya menargetkan bisa selesai dalam waktu 5 jam 30 menit. Ya… optimis bakal dapat lah.

Seminggu sebelum Jakarta Marathon 2022, saya uji coba lari sendiri dengan jarak 21 km (half marathon) sebagai proyeksi untuk saya pakai ketika race maraton nantinya. Selama masa uji coba tersebut saya mendapat kepercayaan diri yang lebih akan sanggup menuntaskan Jakarta Marathon dengan baik dan tidak malu-maluin. Maka, galau itu berakhir dengan sendirinya. Semula saya berencana akan skip saja kesempatan yang ada, tapi dengan hasil uji coba half marathon tadi, saya memutuskan untuk beranikan diri ambil tantangan ini.

Berbekal rasa percaya diri itu, saya memesan tiket kereta api bolak-balik Bandung-Jakarta untuk menghadapi 42 kilometer pertama saya dengan harapan pulang gilang gemilang sambil tersenyum menenteng medali. Saya perlu memasang sikap mental seperti ini supaya semua usaha saya nanti berkompas pada sikap mental ini.

Panitia nan Cuek dan Terkesan Kurang Profesional

Saya mengambil race pack sehari sebelum gelaran Jakarta Marathon 2022 karena saya baru tiba di Jakarta juga di H-1. Ternyata ini adalah pengalaman terburuk saya dalam mengambil race pack. Kami mengantri mengular selama lebih dari 2 jam dalam keadaan berdiri. Listrik di lokasi pengambilan race pack padam sehingga tidak ada pendingin sama sekali padahal cuaca sedang panas-panasnya. Beban mengantri semakin bertambah berat karena saya masih membawa tas.

Feeling saya memburuk karena panitia terkesan tidak punya respon apa-apa dengan padamnya listrik. Antrian terhenti karena sepertinya perangkat yang digunakan panitia untuk proses pengambilan race pack juga turut padam. Semua orang hanya mampu menggerutu sambil menyeka keringat yang terus berjatuhan.

Antri dua jam dalam keadaan berdiri dan berpanas-panasan ternyata terasa juga. Telapak kaki mulai terasa panas dan tegang. Secara keseluruhan kaki mulai terasa tak nyaman, apalagi saya membawa beban tambahan tas baju dan laptop. Keacuhan panitia ini memberikan kesan buruk pelaksanaan Jakarta Marathon, tapi saya tak mau terlalu ambil peduli. Beragam kicauan miring sudah mulai tertebaran di media sosial tentang ketidak-becusan panitia. Kalau ikutan menggerutu, khawatir saya malah tidak optimal menjalani lari esok harinya.

Ternyata benar, di hari H panitia banyak melakukan keblunderan yang membuahkan caci maki dan ketidakpuasan dari peserta. Sayang sekali event ini seharusnya bisa sekelas marathon-marathon besar kelas dunia lainnya, tetapi panitianya masih terasa sekelas event kelurahan.

Setelah lelah dan baju basah kebanjiran keringat demi mendapatkan race pack, saya berangkat ke hotel untuk beristirahat. Eh… drama berikutnya saya harus “meladeni” dan menyelesaikan pekerjaan ala sangkurian dari klien. Niat ingin istirahat sama sekali tak tercapai. Saya malah harus lembur sampai jam 11 malam menuntaskan pekerjaan. Padahal ini harusnya momentum untuk istirahat mempersiapkan tubuh untuk berlari esok paginya. Tapi lucu juga kalau saya bilang ke klien untuk menunda pekerjaan karena besok mau ikut marathon. Ya sudah lah… Biar resah ini kutanggung sendiri.

Bertarung dengan Diri Sendiri Sepanjang 42 kilometer

Panitia menjadwalkan start kategori marathon pukul 04.30 WIB. Padahal di hari itu, jadwal sholat subuh baru masuk pukul 04.20 WIB. Kita seolah hanya diberi dua opsi, silakan sholat subuh dan start belakangan atau ikut start dan lupakan sholat subuh. Lokasi terdekat sholat subuh ke titik start setidaknya membutuhkan waktu normal 15 menit, kecuali kalau kita sholatnya juga balap & langsung loncat berlari sehabis sholat. Saya pastinya memilih opsi pertama. Biarlah start belakangan, lalu saya mencari tempat untuk sholat subuh yang harus jalan berputar-putar dulu.

Selepas sholat subuh saya beranjak ke garis start dan sudah gelap. Saya pikir acara belum dimulai, tapi beberapa orang di gelapan berteriak “lari mas… lari…, sudah start dari tadi.” Alamak… saya belum pemanasan jadi terpaksa lari tanpa pemanasan yang memadai. Itu beneran kondisinya gelap. Lampu di garis start memang tidak menyala. Tidak ada atau sengaja dimatikan? Entah lah… saya akhirnya jadi mahfum dengan protes kebanyakan orang selama ini tentang “keajaiban” panitia Jakarta Marathon.

Saya pun berlari dari garis start bersama beberapa pelari lain yang lebih memilih sholat subuh dulu dari pada start sesuai jadwal.

Dua kilometer pertama telapak kaki saya tiba-tiba terasa seperti tertusuk-tusuk. Saya kaget bukan main, ini masih dua kilometer tapi kaki kok sudah ngadat? Sepertinya lelahnya kaki kemarin karena lama berdiri mengantri, lalu kerja menuntaskan deadline ajaib dari klien sampai tengah malam, ditambah tidak melakukan pemanasan dengan proper menjadi faktor kombinasi telapak kaki saya berontak sakit.

Saya menurunkan tempo berlari untuk memberi kesempatan telapak kaki beradaptasi karena masih jauh jarak lari yang harus saya selesaikan. Memasuki kilometer 18 telapak kaki saya sudah mulai nyaman. Maka saya mulai menaikkan tempo berlari. Begitu sampai di water station kilometer 21 (setengah jalan) saya merasa mulai nyaman. Apalagi sudah terbantu dengan minum dan makan pisang.

Maka saya mulai menaikkan kecepatan lari secara gradual untuk mengimbangi keterlambatan 18 kilometer awal karena tersiksa telapak kaki yang sakit. Eh… baru dua kilometer berlari lebih cepat tubuh saya langsung kolaps. Kedua kaki saya tiba-tiba kram tanpa tanda peringatan. Selama ini, sebelum kram selalu ada pertanda otot yang mulai tertarik sehingga saya bisa jaga-jaga sehingga tidak kram. Kali ini kram datang dengan tiba-tiba. Saya pun terjatuh tepat kilometer 23. Begitu terjatuh, punggung saya ikut-ikutan kram. Saya menduga karena sejak awal lari menahan sakit di telapak kaki membuat postur berlari saya tidak baik dan memberikan tekanan berlebihan pada otot sehingga berakhir kram.

Terus terang, saya cukup panik saat terserang kram di beberapa titik sekaligus. Saya tak sanggup berdiri sama sekali. Hanya terduduk lunglai di pinggir jalan sambil menanti otot-otot yang kram mau diajak kompromi. Sakit sekali rasanya. Beruntung ada marshal lapangan yang lewat dan saya langsung minta bantuan untuk relaksasi otot. Lebih dari 10 menit saya berhenti di titik jatuh itu.

Setelah serangan kram yang begitu hebat, rencana saya untuk berlari menuntaskan Jakarta Marathon pupus sudah. Saya hanya bisa berjalan terseok-seok. Sama sekali tidak bisa berlari karena otot kaki saya terus berontak kalau dibawa posisi berlari. Akhirnya saya pun pasrah, sisa perjalanan 20 kilometer lagi jalan santai saja lah. Di jalan saya bertemu beberapa peserta yang memutuskan berhenti dan tak melanjutkan lagi sisa perjalanan. Mereka melipir ke kafe sambil mengajak sesiapa yang terlihat lunglai untuk mengakhiri perlombaan saja. Saya termasuk yang diajak tetapi saya masih bertekad mengakhiri sesuatu yang sudah saya mulai, meski dengan “jalan robot” yang begitu menyiksa.

Saya ingin mengutuki diri kenapa harus merasakan beratnya lari marathon seperti ini. Ada godaan untuk berhenti saja, pesan ojek online pulang ke hotel dan melahap nasi padang sepuasnya. Tapi saya tetap ingin memegang teguh prinsip jangan menyerah.

Maka perjalanan panjang yang panas, melelahkan, dan sungguh berat itu saya jejaki perlahan-lahan. Di kilometer 30 tiba-tiba badan dan kaki saya segar kembali. Saya uji coba jogging untuk menguji apakah tanda-tanda kram muncul lagi. Asyik… ternyata tidak. Maka saya teruskan berlari. Tapi terpaksa saya pindah lagi ke mode berjalan karena berlari 3 kilometer berikutnya ternyata tubuh saya memberi sinyal kelelahan. Baiklah… sisa sembilan kilometer lagi saya tempuh dengan berjalan lagi.

Saya melirik jam di tangan dan mulai melakukan perhitungan, jika saya berjalan sembilan kilometer lagi dengan mode berjalan maka saya akan tiba di garis finish tepat di waktu cut of time (COT) yang 7 jam. Biarlah, saya pasrah. Tak mengapa race ini saya lewat COT, yang penting tuntas sampai finish.

Perjuangan terberat memang menuntaskan sembilan kilometer dengan berjalan saja. Berjalan sesungguhnya lebih menyiksa tubuh akan lebih banyak menanggung dampak bobot badan dibandingkan dengan berlari. Belum lagi panas matahari yang semakin menyengat. Water station juga mulai dibereskan karena COT sudah menjelang. “Sial… aku kalah kali ini di Jakarta Marathon,” begitu suara dalam benak yang terus menggoda untuk berhenti saja.

Begitu tanda kilometer 41 tampak, saya semangat lagi berlari. Saling berkejaran dengan beberapa pelari lain menuju garis finish. Tapi ternyata begitu kilometer 42 (yang seharusnya sudah finish), kami dibuat bingung. Tidak ada tanda-tanda garis finish. Bahkan marka tanda lari juga tidak ada. Benar-benar kesel dibuatnya. Ternyata finish masih 1 kilometer lagi dengan berputar-putar di lokasi Gelora Bung Karno sehingga marathon kali ini kami berlari lebih dari 43 kilometer.

Sesampainya di finish juga sama sekali tidak ada kesan. Cuma lewat melongos begitu saja. Tidak ada catatan waktu. Tidak ada panitia yang menyambut. Sebuah perjuangan yang terasa zonk di akhirnya. Bahkan untuk mendapatkan medali dan jersey finisher pun kami harus jalan berputar-putar lagi sambil bertanya-tanya ke orang yang sudah pada kelelahan.

Saya akhirnya finish di Jakarta Marathon 2022 dengan tubuh yang lunglai dan serasa hancur. Apakah kapok? Tidak… ini jadi pembelajaran untuk mengalahkan diri sendiri di marathon-marathon berikutnya. Pengalaman pertama marathon saya memang berantakan, tapi saya ingin lebih baik di masa mendatang. Tak mengapa berantakan di Jakarta Marathon, ini pelajaran berharga bagi saya untuk memahami medan tempur berlari berikutnya. []

TINGGALKAN BALASAN