Kementerian Kesehatan sedang dihujat disana-sini. Pasalnya, pada kemarin (1 Des 2013), Kemenkes menggelar Pekan Kondom Nasional. Sebuah kampanye kesehatan yang pertepatan pada hari AIDS. Media dan beberapa elemen masyarakat menilai miring program ini.

Dari tadi pagi saya mencari rilis atau publikasi resmi dari Kementerian Kesehatan tentang program bagi-bagi kondom gratis. Sekedar ingin tahu apa latar belakangnya program yang bikin heboh ini. Sebelum ikut-ikutan bersuara, alangkah baiknya melihat dulu duduk masalah dari sumber yang pertama. Tapi sayang, setelah klik sana-sini website Kemenkes dan jajarannya, gonta-ganti kata kunci di google, saya belum berhasil juga (kalau ada yang punya mohon dishare ya). Yang ada hanyalah respon Menkes dan pejabat terkait dalam menjawab isu yang sudah terlanjur menggulir.

Menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), anggaran yang disediakan Kemenkes untuk pengadaan kondom ini mencapai 25 miliar rupiah. Pemenang tender adalah PT Kimia Farma Trading & Distribution. Tidak jelas apakah bus mentereng nan menggoda karena pakai pose seronok Julia Peres itu masuk dalam anggaran yang 25 miliar itu? Kalau sekedar pengadaan kondom saja, asumsikan 1 buahnya dibandrol 3.000 rupiah. Berarti kondom yang harus dibagi-bagikan lebih dari 8 juta buah.

Angka 25 miliar memang hanya sekedar “anggaran upil” bagi Kemenkes. Menurut Direktorat Jenderal Anggaran, Kemenkes mengantongi 55,9 triliun untuk anggaran 2013. Kondom yang disebar-sebar gratis itu hanya 0,04% saja dari anggaran kesehatan 2013. Apalah arti 0,04%? Oleh karena itu, persoalan ini kurang tepat disandingkan dengan kesehatan di Indonesia yang masih semerawut. Kalaupun dialokasikan untuk asuransi, perbaikan sarana kesehatan, pengobatan gratis, dll, 25 miliar tidak akan kemana-mana.

Yang harus ditanyakan justru strategi kampanyenya yang terlalu fulgar. Pada 2012 lalu Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi mengatakan bahwa 81,8 persen penularan HIV/AIDS di Indonesia adalah melalui transmisi seksual yang tidak sehat. Alasan utamanya adalah kurangnya kesadaran menggunakan kondom. Makanya sekarang Menkes bersikukuh bagi-bagi kondom itu tidak menyalahi aturan. Masuk akal memang jika begitu jalan ceritanya.

Kembali ke konteks bagi-bagi kondom tadi. Saya berprasangka baik (karena tidak dapat rilis resminya) kampanye ini merupakan kampanye mengurangi risiko penularan HIV/AIDS. Sampai titik ini, okelah kita bisa terima. Namun, dalam teori social campaign, ada tahap penting yang harus didesain yaitu: Audience Segmentation and Campaign Design. Artinya, kampanye sosial harus disesuaikan dengan target yang ingin dicapai. Masih menurut Menkes, 81,8 persen penularan HIV/AIDS itu ada di tempat-tempat pelacuran dan sejenisnya. Jadi yang ditarget adalah mereka-mereka yang berpotensi melakukan hal itu. Bukan di kampus. Memangnya kampus tempat seks bebas?

Kampanye yang tak jelas desainnya ini, kecuali busnya yang aduhai seronok, berisiko disalahtafsirkan dan justru menjadi kontraproduktif seperti hari ini. Tidak ada yang salah dengan bagi-bagi kondom jika latar belakangnya adalah mengurangi dampak penularan HIV/AIDS. Yang menjadi masalah justru desain kampanyenya yang terlalu vulgar, multitafsir, dan menggoda.

Yang tidak boleh dilupakan Kemenkes, pemaknaan publik atas aksi bagi-bagi kondom ini. Pendapat bahwa pekan kondom nasional sama saja dengan mempromosikan sex bebas tidak dapat disalahkan, toh memang terkesan demikian adanya. Terutama apabila yang menerima kondom adalah kalangan anak muda yang sudah punya berbagai alternatif pilihan sex bebas. Jadi, kampanye ini bermata dua: mengurangi penularan HIV/AIDS sekaligus mempromosikan seks bebas.

Pertanyaan terakhir, bagi-bagi kondom ini kan sudah beberapa kali. Adakah penelitian yang pernah dilakukan Kemenkes untuk menguji keberhasilan program ini dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS? Atau semata-mata sekedar proyek tahunan saja?

TINGGALKAN BALASAN