DI BAGIAN INI aku merangkum catatanku saat memproduksi album 2 edCoustic. Aku ingin berbagai cerita bagaimana kami membagi tugas menyelesaikan album tersebut.

Aku pribadi belum pernah terlibat memproduksi sebuah album secara utuh. Tapi Deden sudah pernah ikut serta memproduksi beberapa album di bawah indie label. Hal ini memberikan suntikan keyakinan bagi kami berdua untuk bahu-membahu menyelesaikan misi album kedua edCoustic. Kami membagi peran sebagai berikut. Aku bertindak sebagai produser eksekutif, yang memiliki tanggung jawab penuh secara keuangan dan keseluruhan mata rantai produksi album. Adapun Deden bertindak sebagai produser, yang bertanggung jawab memastikan produksi dapat berjalan lancar. Tentu saja selain sebagai produser ia juga merangkap sebagai penulis lagu dan penyanyi.

Pada titik ini kami sudah merelakan gagalnya skenario masuk sebagai artis Major Label. Kami sudah bisa berdamai dengan kenyataan. Berikutnya adalah bagaimana bisa sukses dengan pilihan produksi sendiri.

Tahap awal kami saat itu adalah menentukan nama label yang akan mengusung album dua edCoustic. Aku sendiri belum punya ide. Tapi saat itu Deden menawarkan sebuah nama yang membuat aku geli sebenarnya. Ia menawarkan nama dan logo indie label kami yaitu Mika Musik. Buatku nama itu cukup menggelikan karena Deden mengambil nama indie label kami dari nama istriku sendiri, yaitu Mika. Aku awalnya tidak setuju karena sebaiknya kita ambil nama yang lebih netral dan aman. Tapi Deden punya argumen saat itu bahwa diksi nama label tersebut punya rima yang asyik. Ia merasa yakin nama itu punya kekuatan brand yang baik di masa mendatang. Akhirnya aku mengalah karena aku juga tidak memiliki alternatif yang lebih baik.

Setelah nama selesai diputuskan. Kami lantas menyusun tujuh tahapan produksi sebagai berikut.

  1. Konsep Kreatif
  2. Aransemen
  3. Produksi Lagu
  4. Mastering dan Mixing
  5. Produksi Kaset dan CD
  6. Promosi Album
  7. Penjualan Album

Mari kita bahas apa yang kami lakukan di masing-masing tahap secara singkat. Beberapa detail menarik akan aku tulis di bagian terpisah. Ingat, di setiap tahap ini muncul biaya dan biaya tersebut adalah tanggung jawabku sebagai seorang produser eksekutif. Problemnya, di titik pertama kami berangkat saja pun aku sudah tidak punya uang. Ini benar-benar akan menjadi perjalanan paling menyesakkan karena harus bekerja dalam kehampaan uang.

Konsep Kreatif
Kami menyelesaikan konsep album kedua hanya dalam hitungan dua atau tiga hari. Berikut aku cuplik catatanku saat kami membahas konsep album 2 edCoustic.

  • Album ini harus lebih mature dibandingkan album 1 edCoustic
  • Kita harus dapat membuat pendengar benar-benar merasakan emosi setiap lagu karena kekuatan lirik lagu yang pengalamannya dapat dirasakan kebanyakan orang. Oleh karena itu, lirik lagu harus dipilih sedapat mungkin mewakili cerita yang dekat dengan keseharian pendengar.
  • Kita harus memiliki benang merah konsep lagu dengan album 1. Kami memutuskan beberapa lagu harus memiliki ruh yang sama dengan album sebelumnya.
  • Nuansa gitar akustik harus lebih kental karena kita menggunakan nama edCoustic, oleh karena itu cita rasa akustiknya harus lebih terasa.
  • Kami ingin ada alat musik signature dalam album 2 edCoustic. Tujuannya agar pendengar langsung β€œngeh” begitu mendengar musiknya dan hanyut dalam emosi lagu tersebut. Dua alat musik yang masuk dalam kategori konsep ini adalah gitar akustik dan cello. Setelah kami riset, cello memiliki kekuatan magis dalam sebuah lagu. Suara gesekan cello seolah mewakili rasa hati yang tengah teriris-iris. Aku akan cerita satu bagian khusus tentang cello ini nanti.

Setelah menyepakati konsep tersebut, Deden pun menjalankan tugasnya menulis lagu sesuai dengan konsep yang kami susun. Seingatku saat itu Deden mengajukan sebuah previliege khusus yaitu boleh menentukan sendiri lagu. Alias dia punya hak prerogatif menentukan sendiri pilihan lagu. Aku setuju dengan memberikan hak khusus ini karena aku percaya dia sebagai produser sekaligus penulis lagu ia lebih paham apa yang dikerjakan dibandingkan aku sendiri.

Meskipun begitu, pada kenyataannya kami sempat berdebat serius tentang pilihan lagu. Saat itu kami punya 15 pilihan lagu. Tapi, di tengah perbebatan tersebut ia selalu keluarkan kartu bahwa kami sudah sepakat dia punya hak prerogatif memilih lagu. Dan aku akhirnya terpaksa mengalah.

Aransemen
Sewaktu masih berburu masuk major label, kami pernah bercita-cita suatu saat musik edCoustic harus diaransemen oleh Toh Pati. Di masa itu, Toh Pati adalah aranger musik yang paling kami sukai. Aransemen musiknya sangat enak dan sekaligus dapat diterima pasar.

Tapi sayangnya dengan produksi sendiri, kami jelas tak punya kekuatan dana untuk menyewa Toh Pati sebagai aranger album kedua edCoustic. Situasi kami bagai punguk merindukan bulan. Biarlah ini sekedar impian indah yang tak pernah kesampaian.

Pilihan aranger musik akhirnya kami jatuhkan kepada teman kami, seorang personil grup Shafix yaitu Indra. Selama ini Indra sudah sangat dekat dengan edCoustic, baik secara personal maupun secara musik. Ia paham selera edCoustic dan ia satu-satunya aranger yang bersedia dibayar dengan paket hemat dengan sistem pembayaran di akhir project. Kalau dihitung-hitung kembali, budget yang kami sediakan untuk Indra aku yakin sangatlah tidak pantas dengan effort yang ia harus dedikasikan. Untuk ini aku merasa punya utang besar kepada Indra. Kesediaannya mengaransemen album kedua edCoustic menyelesaikan lebih dari 30 persen masalah yang kami harus selesaikan.

Produksi Lagu
Setelah tandatangan kontrak dengan Indra sebagai aranger musik, ia mulai menyusun konsep aransemen lagu. Aku tak terlalu banyak terlibat dalam diskusi aransemen lagu ini karena di saat yang bersamaan aku harus menyelesaikan masalah yang sama pentingnya: mencari uang.

Setelah aransemen dasar lagu mulai terbentuk, kami menjadwalkan rekaman vocal dan alat musik di studio. Rekaman alat musik elektronik saja yang dikerjakan di rumah Indra. Sisanya harus kami kerjakan di studio karena saat itu hanya studio musik yang memiliki fasilitas rekaman yang memadai. Aku sempat pusing dan mual-mual saat melihat jadwal studio yang harus kami booking. Ketika dikonversi ke rupiah, dadaku terasa terhantam. Bagaimana tidak, dengan uang terbatas kami harus bayar sewa studio dan kebutuhan produksi lainnya seperti konsumsi dan jasa para musisi yang mengisi musik atau backing vocal.

Untuk mengatasi kendala uang ini, kami harus atur-atur jadwal sesuai keadaan kantong. Pas ada uang, sewa studio. Jika lagi cekak, istirahat dulu. Nanti aku cerita beberapa detail lain di masa produksi ini.

Mixing dan Mastering
Mixing dan mastering adalah tahapan penting setelah seluruh musik diaransemen. Kedua kegiatan ini untuk memenuhi standar minimal kualitas album rekaman yang baik. Mixing adalah pekerjaan untuk memadu-madankan hasil aransemen, kurang lebih ini adalah proses akhir dalam memasak yaitu memastikan rasa yang pas. Adapun mastering adalah proses lanjutan dari mixing yang merupakan tahap akhir. Analogi dalam memasak, mastering adalah tahap plating atau menyajikan hasil masakan untuk siap disantap. Hasil akhirnya adalah sebuah master lagu yang siap untuk dilanjutkan ke tahap produksi. Untuk melakukan mixing dan mastering, kami menyewa jasa tenaga mixing dan mastering di studio Yess Bandung. Aku kehilangan catatan berapa besar biaya yang kami harus keluarkan untuk keperluan ini, tapi seingatku aku harus pinjam duit untuk menutupinya dan baru dapat aku kembalikan setahun kemudian.

Produksi Kaset dan CD
Situasi industri musik di tahun 2008 sangatlah tidak menentu. Industri musik sedang lesu-lesunya. Kaset sudah mulai ditinggalkan orang. Meskipun masih ada yang memutar kaset di masa itu, tetapi penjualan kaset secara nasional jatuh drastis. Sementara, CD player belum establish penggunaannya. Teknologi membajak lagu dari sekeping CD juga sangatlah mudah. Begitu kita memiliki album musik dalam bentuk CD, maka siap-siaplah dibajak dan disimpan dalam bentuk MP3.

Tapi kami tidak punya pilihan. Memproduksi kaset dan CD masih jadi satu-satunya jalan keluar agar kami bisa mengembalikan puluhan juta dana yang keluar akibat produksi album ini. Kami pun berdamai dengan risiko dibajak. Dan memang, tiga minggu setelah launching aku merasakan hantaman yang begitu keras di dada. Penjualan CD dan kaset kami belum mencapai angka 200 keping, tapi bajakan lagu edCoustic sudah beredar di mana-mana. Pada titik itulah akhirnya aku menyadari bahwa membajak itu benar-benar jahat. Padahal sebelumnya, terus terang aku juga penikmat produk bajakan. He..he… ini sebuah karma yang benar-benar nyata adanya.

Dalam catatanku, saat itu kami memproduksi CD dan kaset masing-masing 1.500 keping. Menurut perhitunganku, kami harus berhasil menjual setidaknya total 6.000 keping CD dan kaset untuk menutupi biaya produksi. Alhamdulillah, di tahun kedua album edCoustic sebenarnya sudah BEP (break event point). Walaupun, aku masih ingat kami pernah ditipu seorang distributor kaset hingga lebih dari 1.000 kaset raib entah kemana. Sampai hari ini masih belum ada titik terangnya, tapi sudahlah aku ikhlaskan saja kerugian itu.

Promosi Album
Promosi album jadi tantangan sendiri. Major label mengeluarkan dana yang luar biasa untuk mendongkrak penjualan dengan promosi album. Sementara kami, indie label yang bermodal nekad ini sudah kehabisan β€œdarah” saat masuk masa promosi album. Seluruh sumber daya dana habis ludes di tahap produksi dan kami hanya mengandalkan promosi super hemat.

Dalam catatanku, awalnya kami merencanakan aktivitas promosi ini untuk mendorong penjualan album dua edCoustic.

  1. Launching dengan berbagai event di beberapa kota. Rencana ini hanya terealisasi sampai grand launching di Bandung saja dan nebeng acara orang lain di kota lainnya.
  2. Membuat video musik sebagai senjata untuk masuk ke televisi nasional. Tapi ini tak pernah terlaksana karena anggaran sudah habis.
  3. Roadshow ke radio-radio. Hanya tercapai di Kota Bandung saja. Sisanya nebeng promo ke radio jika ada acara di kota lain.
  4. Pasang iklan di majalah dan koran. Ini tak pernah terwujud.
  5. Mengurus kerja sama dengan provider telekomunikasi untuk ring back tone (RBT). Alhamdulillah ini terwujud karena berbiaya murah.

Terus terang, aku sudah kehabisan energi dalam tahap promosi album ini dan kami menjalaninya dengan promosi seadanya dan sekenanya. Promosi yang proper tidak pernah terwujud di album 2 edCoustic. Nafas kami tak sanggup lagi untuk berlari di fase ini.

Penjualan Album
Penjualan album kami lakukan melalui titip edar dengan beberapa agen penjualan kaset dan CD. Selain itu, kami juga mencari partner penjualan perseorangan di beberapa kota. Hal ini sulit sekali karena kami tidak memiliki jaringan, padahal edCoustic sudah di kenal di beberapa kota di Indonesia. Upaya membangun jaringan penjualan sendiri inilah yang kelak menjadi cikal bakal organisasi fans edCoustic. Kami tidak dapat mengandalkan distributor yang potongannya mencekik sekali dan kurang menguntungkan.

Nah… berikutnya aku akan cerita beberapa seluk beluk menarik lainnya. Jangan lupa baca juga ya…

  1. Kisah di Sebalik Album 2 edCoustic
  2. Keputusan dari Keputusasaan
  3. Kenapa Membuat Album?
  4. Tahapan Memproduksi Album Musik
  5. Rahasia Alat Musik Cello
  6. Lagu Pesanan yang Bikin Berantem
  7. Kehabisan Dana
  8. Strategi Partnership
  9. Cerita di Balik Setiap Lagu
  10. Yang Seharusnya tidak Menjadi Kenyataan
  11. Utang yang Tertunda
BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaKenapa Membuat Album?
Tulisan berikutnyaRahasia Alat Musik Cello

TINGGALKAN BALASAN