SETIAP MANUSIA tentu ingin bahagia. Siapa sih yang tak ingin bahagia? Banyak malah yang sampai jungkir balik atau menghalalkan cara buruk atas nama mengejar kebahagiaan diri. Bahagia seperti apa yang sesungguhnya kita cari? Jangan-jangan selama ini kita hanya mengejar bahagia semu yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan itu sendiri.

Umumnya, kebahagiaan itu diasosiasikan dengan kegembiraan, rasa puas, dan kesenangan. Kita bahagia saat merasa senang dan gembira. Kira-kira itu pula yang dilukiskan pada lagu yang nge-top beberapa tahun lalu “Because I’m Happy” yang dinyanyikan Pharrell Williams bersama Daft Punk.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga mengambil definisi Bahagia adalah “keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).” Kata kuncinya lagi-lagi perasaan senang. Lebih-lebih lagi wikipedia, kebahagiaan diidentikkan dengan “kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan yang intens.”

Bahkan, Indonesia jadi salah satu negara yang sudah mengakui secara resmi Indeks Kebahagiaan. Indeks ini mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap sepuluh aspek ini:

  1. kesehatan,
  2. pendidikan,
  3. pekerjaan,
  4. pendapatan rumah tangga,
  5. keharmonisan keluarga,
  6. ketersediaan waktu luang,
  7. hubungan sosial,
  8. kondisi rumah dan aset,
  9. keadaan lingkungan, dan
  10. kondisi keamanan.

Bisa dilihat kan, dari 10 indikator itu bahagia masih erat dengan memiliki sesuatu.

Pertanyaanya, apakah benar demikian? Bahwa rasa puas, kesenangan, dan kegembiraan adalah sesuatu yang membentuk rasa bahagia?

Aku jadi teringat pernah menonton wawancara beberapa artis Indonesia yang memutuskan melipir dari dunia glamour yang menawarkan begitu banyak kesempataan untuk merasakan kesenangan dan kepuasan hidup. Mereka bercerita, di masa-masa itu semua sarana untuk merasakan bahagia mudah sekali terpenuhi. Hidup penuh dengan senang-senang. Duit tersedia berlimpah. Sanjung dan puji mengalir tanpa henti. Siapa pun pasti ingin merasakan kegembiraan, keriangan, dan kenikmatan intens seperti itu.

Ketika ditanya lebih lanjut, kenapa malah meninggalkan kebahagiaan seperti itu? Mereka rata-rata menjawab dengan satu alasan yang sama, yakni tidak merasa bahagia dan jauh lebih bahagia dengan pilihan hidup yang sederhana dan berhikmat akan sesuatu.

Lah, ini bagaimana? Mencari bahagia dan sudah ketemu kok malah mengaku tidak bahagia?

Ternyata bahagia bukanlah perkara kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan yang intens. Sama sekali bukan. Jika pun kita merasa bahagia dengannya, itu hanya bersifat sementara. Jadi kebahagiaan yang berorientasi memiliki sesuatu dan merasakan kegembiraan adalah kebahagiaan semu.

Kebahagiaan yang sejati adalah merasakan ketentraman dan ketenangan batin. Sesederhana itu. Kita bisa tetap bahagia walau tanpa terpenuhinya syarat keberpunyaan seperti yang digambarkan pada indeks kebahagiaan tadi. Hati yang tenang dan tentram, itulah kebahagiaan yang sejati.

Meskipun tak punya pendidikan tinggi, kita tetap bisa merasa hati yang tentram dan tenang. Walau pekerjaan tidak sementereng orang kebanyakan, tapi hati tetap bisa bahagia. Atau…, walau sedang menderita sakit menahun. Itu bukan alasan untuk tidak bahagia.

Menurutku, bahagia yang sejati adalah seperti yang digambarkan dalam salah satu ayat terakhir Surat Al-Fajr.

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.

QS Al-Fajr, ayat 27.

Hati yang terasa tenang dan tentram adalah kebahagiaan hakiki yang bila mencapai rasa itu, hal-hal duniawi sudah tak menarik lagi. Bukan berarti menafikkan arti penting materi duniawi. Tapi hati kita tak tertambat padanya. Kebahagiaan tak kita sandarkan pada hal-hal yang riang-gembira, kesenangan, atau kelimpahan materi.

Dengan begitu, siapa saja bisa bahagia. Yuk…, kita bahagia.

TINGGALKAN BALASAN