PANDEMI COVID-19 yang kini tengah berulang tahun pertama mengalihkan jalur sejarah bumi. Hanya dalam kurun setahun banyak cerita yang berubah, banyak hal yang terenggut paksa, dan begitu banyak yang covid ambil dari hidup kita.

Sejauh ini aku belum berkenalan langsung dengan virus penyebar teror ini. Tapi aku sudah dalam keadaan menerima andaikan pun suatu saat nanti ia menegur dan menguji kesabaran. Tapi seiring serangan yang covid-19 ini gencarkan, aku malah mengalami ujian yang sepertinya menurutku jauh lebih dahsyat dampaknya kepada diri ini daripada terpapar covid. Jika pandemi tak sedang menguji kesabaran makhluk manusia satu planet bumi, aku mungkin sudah takluk dan terkapar karena tak sanggup menanggung ujian itu.

Ujian apakah gerangan itu? Aku tak mungkin uraikan di sini. Bahkan aku tak sanggup menceritakan ke siapapun. Aku hanya mampu mengadu kepada Sang Kuasa dan curhat kepada tembok yang takkan mungkin merespon kembali. Seberat itu kah? Sungguh…, ini ujian paling mengguncang dalam hidupku. Tapi sudahlah…, aku harus menghadapinya. Tak boleh kalah dan jangan sampai kalah.

Merenungi kembali ujian ini, aku jadi teringat sebuah buku bagus yang berjudul “Man’s Search for Meaning” karya Victor Frankl. Tugas kita sebagai manusia adalah mencari makna. Salah satu jalan pencarian makna itu justru lewat penderitaan.

But there was no need to be ashamed of tears, for tears bore witness that a man had the greatest of courage, the courage to suffer.

Victor Frankl

“Tak perlu malu dengan tangisan, air mata itu menjadi saksi kalau seseorang memiliki keberanian, keberanian untuk menanggung penderitaan.” kata Victor.

Saat menghadapi ujian itu aku sangat takut dengan diriku sendiri. Bagaimana aku harus bereaksi terhadapnya? Jangan-jangan aku jadi lepas kendali dan merusak segalanya?

Beruntung Tuhan masih membimbing hati ini untuk tetap tenang dan berpikir dengan kepala dingin. Aku harus pegang kendali atas diriku sendiri. Tak boleh lepas walau dentuman yang menghantam sebegitu kerasnya, aku tak boleh lalai lepas kendali.

Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms–to choose one’s attitude in any given set of circumstances, to choose one’s own way.

Victor Frankl

Semua bisa direnggut dari manusia kecuali satu hal: kebebasannya sebagai manusia–yakni sikap yang ia pilih sendiri dalam suatu keadaan tertentu, untuk memilih jalannya sendiri.

Akhirnya aku diberi kesempatan merasakan sendiri apa yang Frankln katakan dalam bukunya bahwa kita bisa mendapatkan makna dari sebuah penderitaan. Walau tengah menderita jangan berpikir sebagai seorang korban, sebab lewat penderitaan itu kita dapat menangkap makna hidup.

Apakah aku terguncang dan goyah ujian itu? Awalnya ya…, aku ingin sekali (dan memang mampu) mengambil respons membalas. Tapi aku memilih menjadi manusia merdeka dan memilih jalan yang lebih baik serta terhormat.

Aku jadi lebih menghayati betapa sedihya Nabi Muhammad (SAW) pada tragedi Bir Ma’una. Sebuah peristiwa pengkhianatan yang begitu mengguncang baginda nabi. Kebaikan dan pertolongan yang ternyata dibalas dengan pembantaian 70 orang sahabat terbaik Rasulullah. Dikisahkan, sampai-sampai Malaikat Jibril menawarkan agar Rasulullah memanjatkan doa penghukuman seperti halnya nabi-nabi terdahulu ketika dizalimi oleh umatnya. Beruntung Rasul tak mengikuti tawaran itu. Nabi Muhammad SAW mengikuti perintah Allah SWT untuk memanjatkan doa yang kini kita kenal sebagai doa Qunut.

Rasulullah SAW apabila hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku.’

HR Bukhori dan Ahmad

Perbuatan zalim seseorang kepada orang lain akan disegerakan balasnya di dunia ini. Itulah dasarnya mengapa kita harus hati-hati sekali dengan doa orang yang terzalimi sebab tak ada lagi penghalang antara doanya dengan Allah SWT.

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.

QS. Asy-Syura ayat 42

Namun, dalam menghadapi kezaliman itu Rasulullah malah mengajarkan doa yang baik bukan doa meminta pembalasan. Aku merasa beruntung pernah belajar hal ini dan Allah SWT berkenan memberi kesempatan agar aku mempraktikkannya.

Kebajikan itu bukanlah membalas luka dengan luka. Meski luka yang telah dirasa, sebagai manusia yang merdeka kita punya pilihan yang lebih baik yaitu memohon dilimpahkan kesabaran dan meminta pertolongan agar dihindarkan dari kejahatan orang yang zalim.

Kini aku telah merasa mampu melewati yang tadinya aku kira sebuah penderitaan. Aku harus mulai berjalan kembali setelah sempat terhenti oleh sebuah hantaman keras di kepala. Apapun itu, biarlah Tuhan yang menentukan karena aku memegang erat rasa yakin bahwa Ia Maha Adil dan Bijaksana.

Seperti kata Victor dalam buku pencairan manusia akan makna, “penderitaan akan terhenti pada saat kita menemukan makna dari penderitaan itu.

Aku sudah menutup “buku” itu. Berharap ia tak pernah terbuka lagi. Aku bertanggung jawab terhadap diriku sendiri dan keputusanku. Dan aku memilih menjadi orang yang selurus mungkin.

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaBisikan Selepas Ziarah Kubur
Tulisan berikutnyaPuisi Jika

TINGGALKAN BALASAN