DI SUATU RAMADHAN, saat itu saya masih mahasiswa. Saya ikut sebuah kegiatan seminar menjelang buka puasa. Sengaja ikut kegiatan tersebut karena yang mengisi acara adalah seorang petinggi negara ini. Dua menteri kabinet langsung yang akan memamparkan tema menarik.

Ruang penuh dan sesak karena melebihi kapasitas. Saya juga tidak mendapat tempat duduk dan kira-kira satu setengah jam berdiri menyimak acara. Meski dalam keadaan puasa, sambil memanggul tas kelebihan beban pula, saya merasa berdiri di sana sepadan dengan inspirasi yang hadir di acara itu.

Lima belas menit menjelang waktu berbuka acara pun usai sudah. Panitia menutup acara dan mengumumkan bahwa mereka menyediakan makanan untuk berbuka puasa, termasuk “makan beratnya”. Ini berkah yang tak saya sangka dan bagi seorang anak kos, makan gratis itu kata kunci yang paling penting.

Begitu pengumuman usai, seluruh peserta mulai bergerak meninggalkan tempat duduk dan tempat berdirinya lalu membentuk antrian yang mengular. Saya menunda ikut-ikutan heboh dengan antrian itu. Meski sangat butuh dengan makanan gratisan, tapi pemandangan rebut-rebutan masuk antrian itu mengusik rasa harga diri saya. “Apaan sih, norak tau…” begitu batin saya berujar.

Setelah antrian mulai stabil, barulah saya ikut serta masuk ke barisan “ular” itu. Waktu berbuka puasa sekitar dua atau tiga menit lagi. Tapi saya masih jauh di barisan belakang antrian. Memang ada sekitar 30 orang lagi yang ada di belakang saya. Mereka juga tampak gelisah karena masuk dalam barisan akhir.

Adzan pun berkumandang, waktunya untuk berbuka. Tapi kami masih terjebak dalam antrian. Sementara, mereka yang sudah mendapat makanan terlihat asyik melahap hidangan yang mereka ambil. Saya sampai kesal dan hampir menyerah dengan lamanya antrian. Tapi saya masih menyimpan harap dan merasa tanggung jika berhenti di tengah perjuangan mendapat jatah makanan gratis.

Setelah ikut mengular lebih dari tiga puluh menit, akhirnya giliran saya tinggal beberapa orang lagi hingga ke meja prasmanan. Dan sialnya, begitu sampai di meja itu ternyata semuanya telah habis. Penjaga katering minta maaf karena sudah tidak ada yang dapat disajikan lagi. Hanya tersisa beberapa cup air mineral. Makanan yang lain ludes sudah.

Kesal saya naik ke ubun-ubun. Saya sudah menunda berbuka puasa setengah jam. Saya sudah capek mengantri dengan memelihara sabar. Begitu di puncak perjuangan, ternyata zonk belaka. Saya ingin sekali memuntahkan serapah dengan amarah. Tapi kepada siapa saya harus melayangkan marah itu?

Petang itu saya merasa sial luar biasa. Terhapus sudah semua inspirasi yang saya teguk di acara sore tadinya. Saya pulang dengan bersungut-sungut. Sial bukan kepalang. Saya merasa sudah berjuang dengan sepenuh hati, tapi lelahnya perjuangan itu sama sekali tak membuahkan hasil. Waktu dan tenaga terbuang sia-sia.

Kesal yang hadir akibat tak kebagian makan gratis itu membekas berhari-hari. Sampai-sampai saya bingung dengan diri sendiri. Kenapa saya jadi kesal luar biasa dibuatnya? Mungkin karena tidak ada yang bisa saya salahkan. Panitia toh sudah menyampaikan imbauan agar segera mengantri. Penyedia katering juga hanya memenuhi permintaan saja. Mau menyalahkan diri sendiri? Ego dalam diri mengatakan jangan menyalahkan diri sendiri karena kita tidak salah. Mungkin itu sebabnya saya merasa kesal berlarut-larut.

Saya coba menenangkan diri dan mencari hikmah dari kejadian itu. Ini salah satu pendekatan yang saya sering lakukan, yaitu mencari hikmah tersembunyi jika sesuatu tak seperti yang saya inginkan.

Hikmah pertama, bila tersedia kesempatan janganlah anggap remeh dengan kesempatan itu. Bisa saja ia hadir hanya sebentar. Kedua, perjuangan tak selalu mendatangkan hasil. Oleh karena itu kita harus berani menahan ekspektasi. Cita-cita boleh setinggi langit, tetapi ekspektasi harus dijaga agar ketika tak tercapai kita masih bisa mengelola perasaan. Ketiga, kita hanya mampu mengendalikan upaya tetapi hasil akhir masih jadi misteri. Kemungkinan gagal tetap ada walaupun kita sudah memastikan semua proses berlangsung sebaik mungkin. Selalu siapkan dalam hati sebuah ruangan jika nanti hasilnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan.

Ternyata, cara mencari hikmah tersembunyi itu ampuh juga. Saya akhirnya bisa berdamai dengan kesal yang tadinya terus saja berasap dalam benak. Menjelaga memenuhi ruang hati sehingga saya murung berhari-hari. Mungkin ini adalah bagian dari proses pendewasaan diri bahwa sebagai manusia saya harus bisa menerima kenyataan, termasuk pada kenyataan yang tak saya inginkan.

TINGGALKAN BALASAN