LELAKI paruh baya itu memecah keheningan karena ia melontarkan pertanyaan yang sedikit di luar konteks. Tadinya mereka sedang mengulas pertandingan sepakbola sambil bermain catur di pos ronda. Tapi, karena sudah lelah dan malam telah masuk ke ambang atas jarum 12. Sementara pertandingan bola yang mereka ulas tadi belum juga akan dimulai. Bila tidur khawatir bablas sampai subuh. Kalau ngobrol, tak tersisa lagi tenaga karena kopi sudah habis dari sore tadi. Akhirnya mereka hanya saling melamun mempertahankan tarikan kantuk demi pertandingan favorit dini hari nanti.

“Coba, lebih baik mana orang yang sholat tapi perilakunya tak terpuji dibandingkan orang yang jarang sholat tapi akhlaknya mulia?” lontarnya sekonyong-konyong.

Anjas, temannya yang diserang pertanyaan dadakan balik bertanya sambil mengucek kedua kelopak matanya.

“Ha…? Gimana tadi Luk?”

“Aku tanya, lebih baik mana orang yang sholat tapi perilakunya tak terpuji dibandingkan orang yang jarang sholat tapi akhlaknya mulia?“ Luluk mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan suara yang lebih bertenaga.

Anjas tidak siap menjawab pertanyaan melelahkan otak di tengah-tengah raganya yang dari tadi minta istirahat. Ia berdiri sejenak membersihkan kulit kacang goreng yang berserakan di kursinya. Anjas mencoba mengulur waktu sambil memutar akal menjawab pertanyaan temannya ini. Ia paham betul, jika malam itu ia tak menjawab pertanyaan si teman usil ini besok Luluk pasti akan menyerangnya lagi dengan pertanyaan yang sama. Luluk adalah sejenis makhluk yang tak mau berhenti jika ia belum merasa puas. Maka, Anjas ingin sekali menghentikan pertanyaan sahabatnya yang tidak terlalu karib ini. Mereka seolah bersahabat hanya karena sama-sama menggemari klub yang akan mereka tonton malam ini.

“Begini, aku punya jawaban atas pertanyaanmu tapi ada syaratnya,” Anjas membuka langkah pembuka diskusi.

“Baik, apa pun itu asal kamu tidak menyaratkan dibayar uang,” sambut Luluk terkekeh sambil melirik-lirik sisa makanan kecil yang mungkin terselip di tempat itu.

“Kita harus sepakat dulu bahwa ada yang jauh lebih baik dari kedua pilihan itu, yakni orang rajin sholat sekaligus memiliki akhlak yang mulia.”

“Bagaimana, sepakat? Jika kamu sepakat, aku akan menjawab pertanyaanmu,” Anjas berusaha mendapatkan konfirmasi.

Luluk merasa diserang balik. Ia tak berharap kesepakatan itu ada karena pertanyaannya bukan tentang yang Anjas tawarkan untuk disepakati. Tapi Luluk penasaran dengan Anjas karena ia terlihat meyakinkan ingin menjawab. Luluk lantas mulai menyusun serangan berikutnya, mana pun yang nantinya lebih baik menurut Anjas ia sudah punya bantahannya. Intinya dia harus menang malam ini, jika pun nanti timnya kalah ia sudah mencicipi nikmatnya menang berdebat.

“Oke… setuju!” Luluk menerima kesepakatan itu.

Anjas mengambil nafas dan meneguk sisa terakhir air putih di gelasnya.

“Supaya mudah, orang yang taat beribadah dan akhlaknya mulia kita beri poin sembilan.”

“Boleh…” Luluk sudah mulai tak sabar ingin menyerang.

“Karena aku lebih menghargai akhlak mulia dibandingkan sekedar menjalankan kewajiban ibadah, maka menurutku mereka yang berakhlak mulia lebih baik dari pada yang rajin sholat sedangkan perilakunya busuk. Ya… aku kasih poin enam lah.” Anjas langsung menunjukkan posisi yang jelas.

“Tapi, apa guna punya budi pekerti baik sedangkan ibadahnya jeblok?” Luluk mulai menjalankan serangannya.

”Memang tidak berguna teman, tapi dia masih lebih baik,” jawab Anjas.

“Loh, tidak bisa begitu. Ibadah itu modal kita untuk jalani hidup selepas di dunia ini. Menurutku yang rajin ibadah lebih baik lah daripada yang sekedar berperilaku baik.” Luluk tambah ngegas.

”Oke, kamu kasih poin berapa dia kalau begitu?” tanya Anjas balik.

“Hm… harus lebih tinggi dari pilihanmu, enam koma lima lah. Ha..ha…” Luluk merasa mulai memegang kendali.

“Kalau begitu aku ikut kamu deh, aku kasih dia poin enam koma satu. Kalau digabung, si rajin sholat tapi berakhlak buruk dapat nilai rata-rata berapa?” Anjas mendukung pilihan Luluk sambil meminta temannya itu menghitung di kalkulator hapenya.

“Hm… sebentar.”

“6,3 Njas!” seru Luluk beberapa detik kemudian. Ia senang karena berhasil menang sekaligus mendapatkan sekutu opini malam itu.

”Ya…ya.., aku setuju pilihanmu. Dia memang lebih baik. Tapi, bagiku mereka sama-sama tidak baik karena keduanya hanya dapat C.” Lanjut Anjas.

”Loh tapi kan sudah jelas pemenangnya,” Luluk protes.

“Mereka sama saja Luk. Sama-sama dapat C. Kenapa kita harus meributkan mereka yang hanya dapat grade C? Buatku grade A lebih baik dan ia pemenang yang sejati.” pungkas Anjas sambil berdiri dan pamit ke toilet.

Luluk masih berusaha mencerna kata-kata Anjas. Sejak awal dia tidak ingin membahas orang yang dapat nilai A. Pertanyaannya kan mana yang lebih baik dari yang sama-sama dapat C. Kenapa kesimpulannya malah yang lebih baik yang dapat A?

Luluk merasa dikerjai oleh temannya ini. Ia mau melancarkan serangan lagi sepulang Luluk kembali dari toilet. Tapi sampai pertandingan yang dinanti mulai tanyang, Anjas belum kembali. Ternyata dia izin pergi ke toilet rumahnya dan selepas itu nonton bola di ruang tamunya sendiri.

TINGGALKAN BALASAN