TAKSA baru tiga hari tinggal di Jakarta. Pria asal sebuah kota kecil di Jawa Tengah ini datang ke Jakarta atas suruhan Ibunya. Sang Ibu terpaksa mengirim Taksa ke Jakarta, mengabdi kepada adik semata wayangnya yang sudah sukses di ibukota. Terserah mau dikasih kerja apa, yang penting Taksa punya kerjaan dan tidak bikin repot orang tua lagi.

Awalnya, sang paman, Kardi, enggan menerima Taksa karena pasti akan membawa repot. Tapi apalah daya, selama ini mbakyunya tidak pernah minta bantuan apa-apa. Ini kali pertama dia memohon bantuan, padahal dulu, mbakyunya yang menyekolahkan Kardi sampai bisa wisuda bergelar insinyur.

Apalagi Taksa terpaksa dikirim ibunya ke Jakarta karena sudah mencoreng nama baik keluarga di kampung. Taksa tertangkap tangan warga mencuri ternak di dusun sebelah bersama tiga temannya. Mereka “diramai-ramaikan” warga, digebukin, dipentung, dan diseret di jalanan. Taksa beruntung nyawanya tak melayang karena diselamatkan beberapa penduduk yang masih mengenali wajahnya.

Nama baik keluarga mampu menyelamatkan Taksa dari amuk massa. Meski setelah itu, isi obrolan pagi adalah mencibir jatuhnya nama baik keluarga mereka akibat ulah Taksa yang sungguh memalukan. Berhari-hari ibunya sakit menanggung malu. Luntur sudah perjuangan almarhum suaminya yang di masa hidupnya berkeliling dari satu kampung ke kampung lain menyebarkan kebaikan dalam ceramah-ceramahnya. Taksa juga tak berani keluar rumah. Kampung yang saban hari ia lalui dengan penuh gembira berubah menjadi neraka yang siap membakar.

Dengan berat hati Kardi menerima Taksa di rumahnya yang ada di bilangan Pondok Indah Jakarta Selatan.

“Kamu bisa kerja apa to le,” tanya sang Paman saat perjalanan menuju rumah selepas menjemput Taksa dari terminal bus.

“Saya bisa menyetir pakde,” sahut Taksa ringkas. Ia menoleh wajah pamannya pelan-pelan. Bekas lebam di wajahnya masih terlihat samar.

“Ok, besok kamu coba bawa mobil keliling kompleks ditemani Pak Gung, bisa ya Pak Gung!” perintah Kardi kepada supirnya yang tengah mengemudikan mereka menuju rumah.

“Bisa Pak, besok bisa,” Pak Gung yang sudah berusia lebih dari 55 tahun itu mengangguk tapi masih memendam kesal karena merasa tersaingi.

Keesokan harinya Taksa diizinkan mengemudikan sebuah mobil box yang biasa dipakai keluarga Kardi membawa barang hasil belanjaan. Istri Kardi kebetulan punya bisnis butik. Seminggu sekali mereka belanja besar di pasar Tanah Abang atau ke Pasar Mangga Dua. Kadang, malah mampir ke Bandung. Tergantung busana apa yang sedang ngetrend.

Sepanjang jalan Pak Gung bersungut-sungut dengan cara menyetir Taksa.

“Ngerem bukan begitu caranya, harusnya kamu injak kopling dulu baru rem pelan-pelan!”

“Hati-hati dong, ini bukan di kampung! Masa’ polisi tidur kamu lindas sekena udelmu saja?”

“Lihat spion dulu kalau mau memotong, jangan asal embat saja!”

Taksa sempat kesal dengan Pak Gung, tapi ia masih ingat pesan ibunya. “Kamu di Jakarta harus nurut ya le. Jangan bikin malu lagi.” Ia kasihan dengan ibunya. Kasus pencurian itu sebenarnya hanya iseng belaka di awalnya. Cuma ingin menjawab tantangan seorang teman yang punya ide usil. Tapi keisengan maling beberapa ekor ayam berujung dramatis.

Malam harinya, Kardi mendadak dipanggil ke kantor. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ada rapat penting di kantor katanya. Sedangkan supir pribadi Kardi sudah pulang.

“Saya temani ya Pak De,” Taksa menawarkan diri.

“Ayo, sekalian kamu bawa tas saya yang di samping lemari itu, mungkin besok pagi kita langsung ke Bandung,” perintah Kardi.

Taksa meletakkan barang-barang itu di bagasi belakang mobil dan mengambil duduk di samping supir karena malam itu Kardi sendiri yang menyetir ke kantor. Mereka berhenti sejenak untuk mengisi bahan bakar. Saat itulah Taksa mengungkapkan keengganannya.

“Pak De, saya tidak enak kalau mobilnya dibawa oleh Pak De, saya kan sudah latihan menyetir tadi pagi,” ungkap Taksa.

“Memang kamu bisa?”

“Insya Allah Pak De, kita coba saja”

Kardi pun dengan ragu menyerahkan kemudi kepada Taksa. Tapi ia harus memberi kesempatan kepada Taksa.

“Pak Gung bilang kamu nyetirnya belum benar?” kata Kardi sesaat setelah mobil melaju.

“Anu Pak De, mungkin tadi karena saya grogi,” jawab Taksa berusaha untuk tidak mengungkap kekesalannya pada Pak Gung yang terlalu mengatur.

Kurang dari 20 menit mereka sudah sampai di kantor Kardi. Sebuah kantor kementerian, tempat orang-orang berpendidikan bekerja mengurusi permasalahan rakyat. Taksa sering mendengar cerita Ibunya yang bangga sekali dengan karir adiknya di Jakarta. Baru kali ini Taksa melihat langsung makna kekaguman ibunya itu.

“Kamu tunggu di parkir saja, nanti kalau sudah selesai saya panggil,” perintah Kardi kepada Taksa.

Meski sudah didatangi oleh rasa kantuk, Taksa berusaha tidak tertidur karena khawatir panggilan dari Pak De-nya tidak terdengar. Malam itu ia habiskan hanya melihat-lihat bintang yang ada di langit maupun “bintang-bintang kota” yang jauh lebih semarak.

Menjelang mentari terbit Kardi baru muncul.

“Kita langsung berangkat ke Bandung, tapi kita singgah dulu di hotel yang ada di seberang sana,” Kardi menunjukkan sebuah hotel megah sambil menjelaskan harus berputar dimana.

“Tasnya banyak sekali Pak De,” kata Taksa sambil membantu Kardi menaikkan sekitar tujuh tas berwarna coklat ke dalam mobil.

“Sudah, kita berangkat saja,” Kardi tidak menjawab pertanyaan Taksa.

Sesampainya di Hotel tadi, Kardi meminta Taksa memarkirkan mobil dan membawa tiga tas ke dalam hotel. Taksa pun mengikuti perintah Pak De-nya itu.

Mereka masuk ke hotel melalui pintu masuk karyawan. Pak De kelihatan sudah kenal dengan satpam disana. Kemudian mereka masuk ke dalam lift. Taksa hanya ikut langkah kaki Kardi, ia melihat Pak De-nya menekan tombol 15. Sesekali lift itu berhenti, pintunya terbuka, dan orang lain masuk. Ikut menumpang lift tadi.

Begitu keluar dari lantai 15, Kardi mengeluarkan sepotong kartu dan menggesekkannya di pintu No 1509. Pintu kamar itu terbuka dan Taksa ikut masuk bersama Pak De-nya.

Ternyata di kamar itu sudah ada seorang Ibu paruh baya dan seorang pria berperawakan besar. Kedatangan mereka disambut tawa kecil dan jabat tangan yang erat.

“Ini Bu, silakan diterima, baru datang tadi malam diantar oleh Mr. Brown,” ujar Kardi kepada kedua orang yang tampaknya sudah akrab dengannya.

“Wah, terima kasih loh… Tapi proyeknya aman kan?” tanya pria berperawakan besar tadi.

“Timor Kupang Ambon Pak!” kata Kardi, yang artinya ‘Aman Terkendali’. Taksa memperhatikan kamar itu masih rapi, artinya kedua tamu yang ada di kamar itu tidak tidur disana. Kecuali kalau sehabis tidur mereka langsung membereskan tempat tidurnya.

“Ok, saya sepuluh-delapan dulu ke Bandung, Pak Dirjen kabarnya hari ini ada jadwal golf di sana,” kata Kardi sambil pamit dan salaman dengan kedua tamu mentereng tadi.

Taksa menyimpan banyak tanya dari pertemuan tadi. Setelah melaju keluar dari hotel dia beranikan diri bertanya kepada Pak De-nya.

“Sepuluh-delapan itu apa Pak De?”

“Maksudnya berangkat menuju,” kata Kardi.

“Oooh.., kalau Bapak dan Ibu tadi siapa Pak De?”

“Ah.. kamu banyak nanyanya. Mereka itu atasan saya.”

“Lalu tas itu isinya apa Pak De?” Taksa masih penasaran.

“Walah-walah… kamu ini, itu duit colongan tau!” jawab Kardi setengah terbahak.

Taksa bingung, ini Pak De-nya sedang becanda atau memang beneran begitu. Dia mulai sadar terlalu banyak bertanya kepada Pak De-nya yang kurang tidur.

“He..he… maaf Pak De, cuma penasaran saja,” kata Taksa mencoba mengakhiri diskusi. Kini dia siap-siap masuk gerbang tol di daerah Semanggi.

“Tapi beneran loh Taksa, ini duit colongan. Tapi tidak nyolong seperti yang kamu bayangkan” Kardi ternyata meneruskan pembicaraan. Kepala ia rebahkan sambil menarik tuas jok agar sedikit merebah.

Taksa semakin bingung. “Nyolong? nyolong dari mana?” Taksa mulai gemetar mendengar kata nyolong. Traumanya akibat mencuri ayam belum kandas.

“Hm… sebenarnya saya sama saja dengan kamu Taksa, kita sama-sama maling” Kardi menatap jauh ke langit, seolah ingin mengadu kepada langit kesalahan yang ia sadari tapi tak bisa ia hindari.

“Bedanya, kamu maling ayam yang gampang ketahuan, saya ini maling yang sudah pakai strategi,” Kardi masih meneruskan ocehannya.

“Awalnya batin saya memang tersiksa, tapi semakin kesini saya sudah kian terbiasa. Toh hampir semua orang melakukan ini, mau apa lagi?”

“Pak De, nyolong dari mana sih maksudnya?” Taksa masih belum mengerti.

“Begini Taksa, di lingkungan saya itu biasa dengan atur mengatur proyek. Ada titipan proyek, ada kick back, dan lainnya”

“Nah…, dalam setiap proyek yang sudah dipesan itu, biasanya sebagian dananya kita bagi-bagi. Sama-sama saling menguntungkan lah prinsipnya,” lanjut Kardi.

“Coba kamu bayangkan, gaji kami sebagai pegawai negeri sipil itu berapa sih? Biaya pendidikan, biaya susu anak-anak, biaya transportasi, biaya makan, dan banyak biaya hidup lainnya. Kalau jujur berhitung, semua itu tak sebanding dengan gaji yang kami terima. Ya, mau tak mau harus ada pemasukan tambahan.”

“Kamu bandingkan, pengusaha yang dapat proyek itu. Mereka menerima dana bisa sampai puluhan miliar. Mereka bisa dapat untung banyak dari anggaran yang kami sediakan. Mereka mudah mendapat kekayaan dari anggaran itu, sedangkan kami hanya digaji seadaanya. Tak adil kan?”

Taksa mulai paham jalan cerita pamannya.

“Tapi itu tak termasuk dosa Pak De?” tanya Taksa, karena ibunya benar-benar marah besar padanya karena ketahuan mencuri ayam di kampung. Ibunya sampai bersumpah tak mau mengakui lagi Taksa sebagai anak kalau dia mengulangi mencuri.

“Ha..ha…, zaman sekarang dosa masih bisa kita negosiasi Taksa,” ujar Kardi.

“Dosa dari mana dulu? Kita tidak mencuri hak orang kok, ini hanya transaksi yang saling menguntungkan,” tambahnya lagi.

“Apa ada yang tidak melakukan itu Pak De?” tanya Taksa lagi.

“Pasti ada, dan mereka akan tertinggal,” tanggap Kardi.

“Coba kamu perhatikan mobil-mobil di jalan tol ini. Kecepatan kita sekarang 110 km/jam. Padahal aturannya kan maksimal 80 km/jam kan? Siapa yang mau mengikuti aturan itu? Hanya mobil-mobil yang uzur mesinnya. Mesin mobil-mobil yang masih gesit pasti tidak mau ikut aturan 80 km/jam. Kesempatan untuk 120 km/jam ada, tidak merugikan siapapun juga. Malah kita bisa lebih cepat kan? Apa kamu mau mengikuti truk-truk yang lambat itu sedangkan mobil kita punya kuasa melaju lebih kencang?”

Taksa menganggung-angguk. Kini ia mengerti menyolong anggaran dana itu sama halnya seperti berkendara di jalan tol. Salah sih, tapi  kenapa harus disalahkan?

“Taksa, hati kecil saya bilang ini tidak benar. Ini korupsi namanya. Makanya kami lakukan sembunyi-sembunyi dan hati-hati. Tapi, saya tak bisa menghindar. Posisi saya di kantor serba salah. Berbulan-bulan saya berada dalam gundah. Akhirnya harus berdamai karena nyatanya saya tak merampas hak siapapun. Perusahaan-perusahaan itu tak merugi kok.”

“Itulah gunanya pendidikan Taksa, kita diajari bagaimana menggunakan strategi dengan apik,” ungkap Kardi. Pernyataannya itu sekaligus ingin menyinggung Taksa, bahwa aksi mencuri ayam itu terlalu amatir.

“Sudah ah, saya tidur dulu,” sambung Kardi.

Tak lama berselang Kardi sudah jatuh dalam tidurnya. Taksa menyetir sendiri memacu kendaraannya di jalan menanjak menuju Bandung. Gerimis kecil mulai turun, ia nyalakan wiper untuk menghalau butiran air itu. Lama ia berpikir, “mencuri itu sebenarnya salah atau tidak ya?”

Wiper yang bergerak naik turun menghalau air hujan itu seolah memberikan isyarat “tidak…tidak…”

Sesampainya di Bandung, Kardi memandu Taksa menuju lapangan golf di kawasan Bandung Utara. Ia menunggu lagi di parkiran. Taksa masih terpikir tentang mencuri ayam dan menyolong anggaran. Apa bedanya? Selain perbedaan jumlah yang begitu mencolok. Ayam paling mahal 50 ribu seekornya. Bagi-bagi dana sisa proyek pemerintah bisa-bisa di angka lima miliar.

Taksa lalu menelpon Ibunya di kampung.

“Bu aku mau pulang saja,” katanya. Ibunya tentu kaget. Tetapi setelah mendengar cerita Taksa, Ibunya tak punya alasan lain.

“Ya sudah, kamu pulang saja Nak. Bantu ibu di rumah.”

Taksa pun lalu menulis secarik kertas dan ia letakkan di dashboard mobil pamannya.

“Taksa sudah janji ke Ibu tidak mencuri atau ikut-ikutan mencuri Pak De. Maafkan Taksa, saya harus pulang”.

Kardi langsung merobek-robek kertas itu.

“Dasar maling!” umpat Kardi dan melemparkan begitu saja potongan kertas itu lewat jendela mobilnya.

2 KOMENTAR

  1. Bagus sekali ceritanya bang.. tentang pilihan untuk menjauhi hitam di dunia yang abu2 ini meski kita sendiripun gak putih2 amat..

    • Wah, makasih bung Indra. Ngomong-ngomong hitam putih, sepertinya saya masih menang “putih” dari dirimu kan? He..he…

TINGGALKAN BALASAN