Dalam hidup ini, beberapa kali saya merasa terhianati. Oleh teman sendiri yang menurut kata hati saya sudah menyakiti akibat menanggalkan rasa percaya yang sudah lama saya tanam. Marah, kesal, kecewa dan sakit hati. Kumpulan sifat negatif itu akhirnya menjadi bumerang untuk diri sendiri.

Rasanya berat untuk bersikap positif. Saat kita merasa terluka oleh orang yang selama ini dekat. Antipati segera datang padahal tak pernah kita inginkan.

Salah satu cerita klasik mengisahkan, bila kita sudah cinta pada seseorang, maka meludahnya sajapun terlihat indah dan mempesona. Tapi bila rasa benci padanya sudah menyelimuti hati, senyum dan tawanya pun terasa bagai siksaan tak terperi.

Emosi memang selalu mampu menggoroti otak kiri kita, hingga rasio sering hilang begitu saja. Tak mampu menimbang dengan jernih duduk masalah.

Seorang teman pernah bertanya, “bagaimana caranya untuk memaafkan?”. Sebuah pertanyaan sederhana, namun saya tak sanggup mengurai jawabannya. Apa susahnya memberi maaf, ya tinggal maafkan saja. Hal-hal ‘bagaimana caranya’ berkaitan dengan prosedur. Prosedur memaafkan saya fikir sederhana saja. Tinggal ucapkan maaf atau terima maaf orang yang meminta maaf.

Setelah berselang waktu, saya menyadari bahwa pertanyaan sebenarnya bukanlah bagaimana cara memaafkan, melainkan bagaimana mengikhlaskan maaf. Bibir kita bisa saja mengucap maaf, tapi hati belum tentu ikhlas memaafkan. Itulah inti masalahnya. Apalagi pada tingkat sakit hati yang begitu hebat, melepas maaf dari lubuk hati bukanlah perkara mudah. Bahkan kadang butuh waktu yang amat panjang.

Saya pernah kenal dengan seseorang yang sudah 15 tahun tak saling bicara dengan ibu kandungnya sendiri. Persoalannya, ya itu…, sulit melepas maaf dalam hati. Setiap lebaran tiba, ucapan maaf memang saling terlontar. Tapi itu hanya sekedar maaf di bibir saja. Selepas itu?, sakit hati masih melekat kuat. Egoiskah mereka? Sulit saya jawab, sebab menurut saya keduanya adalah orang yang begitu baik dan penuh kasih sayang. Kebekuan Ibu dan anaknya itu baru mencair saat sang ibu menjelang sakratul maut. Ajal yang sudah mendekat membuka hati mereka untuk saling mengikhlaskan.

Dalam film Stuart Little II, dikisahkan, seekor anak tikus yang diadopsi keluarga Little merasa hidupnya hancur lebur. Berbagai cobaan dan penolakan ia terima. Setiap melakukan sesuatu yang baik, ia selalu dianggap salah. Stuart frustrasi. Dalam kegalauan itu, sang Ayah mendekatinya. “Dalam hidup ini kita memang sering melihat awan hitam. Tapi yakinlah selalu ada silver line (sisi baiknya)”, katanya membujuk Stuart yang sedang kelabu.

Ya… silver line (sisi baik) dari segala peristiwa memang ada. Meski kadang tersembunyi jauh dari pandangan kita. Orang-orang biasa menyebutnya dengan “hikmah”. Bila ada yang mengalami musibah, kita selalu diminta untuk mengambil hikmahnya. Memetik pelajaran berharga dari peristiwa buruk yang menghadang.

Saya baru saja mendapat sebuah jawaban atas pertanyaan seorang kawan bertahun-tahun lalu tentang bagaimana memaafkan itu. Kita bisa melihat silver line-nya. Itulah yang membuat maaf bisa membasuh sakit hati.

Silver line juga yang membuat kita tak terjebak pada situasi tak menyenangkan sehingga meluapkan emosi. Hari ini, saya juga dapat merasakan silver line itu. Ia memang bermanfaat. Tak perlu menunggu permintaan maaf dari orang lain. Menelisik silver line membuat hati ini sudah terbilas dari sakit hati.

Sumber foto : http://i164.photobucket.com/albums/u19/mariafernanda73/tornadoes.jpg
BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaSPBU – Makloon
Tulisan berikutnyaStereotipe Kacamata

3 KOMENTAR

  1. Salam.
    Sangat tertarik dengan ulasan kamu.
    Seringkali kita tidak bisa memaafkan. Sering kita melihat kesalahan nan satu itu, namun kita lupa kebaikan yang pernah dilakukan dulu.
    Saya juga pernah begitu. Tidak mahu memaafkan, sedang sahabat punya 1001 sebab untuk dimaafkan. Kebaikan-kebaikannya di masa lalu.

    maaf atas bahasanya.
    Saya dari Malaysia.

    • @ Hana
      Silahkan dicopy… semoga tak terlalu bias dengan bahasa Malaysia. He..he..
      Terimakasih sudah berkunjung ya.. Semoga kita jadi orang-orang yang mudah memaafkan.

Tinggalkan Balasan ke bangirfan Batal balasan