Jalan-jalan lah ke sekitar bundaran UGM. Disana ada toko eskrim yang jual pigura. Tapi tak ada tanda-tanda eskrim tersedia disana. Seribu tanda tanya pun muncul dihati. Mengapa oh mengapa, warung eskrim berubah menjadi toko pigura?

Mungkinkah mereka beralih fokus? barangkali pemilik eskrim kalah judi dengan pedagang pigura dan menggadai tokonya? atau jangan-jangan papan merek eskrim itu memiliki nilai sejarah yang teramat tingginya, hingga tak boleh diturunkan meski mereka tak berdagang eskrim lagi.

Kita layak menurunkan tim riset untuk menyelidikinya dan menulis sebuah novel berjudul “Runtuhnya Eskrim Kami“.

Pak Gobet tampaknya memang sudah tidak menjual eskrim lagi. Kini Mang Abhe tak mampu mewarisi jurus-jurus meracik eskrim. Hanya piguralah yang sanggup ia selesaikan. Kemanakah pak Gobet? Apa yang terjadi padanya?

Ah.. rasanya saya memang tak punya bakat membuat novel ‘Runtuhnya Eskrim Kami’ ini. Biarlah, kita serahkan saja pada ahlinya.

Jogya, di kala magrib menjelang, tiga puluh agustus dua ribu delapan.

 

TINGGALKAN BALASAN