SORE KEMARIN aku melangkah lagi melalui masjid di sebuah kota kecil yang terletak di pantai barat sumatera. Berdampingan langsung dengan Samudera Indonesia. Dekat dengan Kota Sibolga, tepatnya kota kecil Pandan namanya. Meski berhawa panas, udara di kota itu segar sekali. Paru-paru terasa lapang diisi aroma wangi gunung dan rawa-rawa.

Sebelas tahun lalu, masjid itu baru saja berdiri. Aku beranikan hati mengajukan diri untuk menjadi penjaganya. Aku pun diberi kunci pintu masjid dengan tiga tanggung jawab yang aku lekatkan sendiri. Membuka/Mengunci pintu, membersihkan isi dan luar masjid, dan adzan di lima waktu sholat.

Saat itu aku masih kelas 1 SMU. Masih culun dengan potongan rambut 023. Mirip tentara.

Masjid sumbangan Yayasan Pancasila itu terkucil di dekat parkir. Jauh sekali dari ruang kelas. Tak strategis. Hingga satu tahun masjid itu isinya hanya saya dan kadang-kadang beberapa orang yang sedang ingin. Ntah ingin apa. Tapi setelah saya kelas 2 SMU, masjid itu ramai betul. Tak cuma untuk ibadah, juga sekaligus dipakai transit untuk melepas lelah siswa-siswa.

Yang paling aku rindukan sampai saat ini adalah menjadi mu’adzin, atau orang yang mengumandangkan adzan. Bangun pagi, aku langsung lari menuju masjid. Nyalakan air, siapkan sound system, dan langsung adzan. Inilah saat-saat paling berat untuk adzan. Suara masih berat dan susah keluar. Dengan serak dan masih bernada ngantuk, tiap pagi orang-orang sekitar masjid pasti terbangun dengan suaraku yang sama sekali tak merdu itu.

Bukan hanya adzan saja yang aku lakukan di sana. Karena sepi, masjid itu asik sekali dipakai untuk belajar. Selain sekolah, aku menghabiskan waktu terbanyak di situ. Indah sekali menyepi dalam kesunyian. Ditemani suara-suara ntah binatang apa di hutan sebelahnya.

Sampai sekarang aku masih merindukan adzan lagi di sana. Tapi tampaknya masjid itu sudah banyak pengurusnya sekarang. Pasti juga masih banyak yang suaranya lebih merdu dan lebih “nyeni”. Tak mungkinlah aku jadi mu’adzin lagi.

Tak pernah rasanya bosan mengumandangkan adzan, meski itu lima kali sehari. Rutin, dan itu-itu terus. Tapi indah sekali. Menanti-nanti waktu sholat tiba. Begitu tiba, aku pun langsung Adzan. Berharap seruan itu didengar oleh orang lain. Saat ada yang datang ke masjid akibat mendengar seruan itu indah sekali rasanya. Akankah saat ini aku masih seperti itu? Menanti-nanti waktu sholat tiba? Kadang merasa bersalah juga, saat ada adzan terdengar hati dan kaki ini tak langsung bersegera.

Aku wudhu lagi di masjid itu. Sambil sedikit ngobrol dengannya, “terimakasih telah berdiri disini wahai masjid, dan terimakasih telah pernah memberi kedamaian dalam hidupku”. Sang masjid hanya diam, tapi saya yakin dia juga menjawab. Rindu juga kah ia padaku?.

Hati terasa hangat, seperti saat dulu ketika aku sedang membangun mimpi dan sering mengadu di Masjid ini.

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaLelet
Tulisan berikutnyaJadi Pejabat

4 KOMENTAR

  1. Ceritanya ini teh lagi bernostalgia ya lae….? 😛

    Memang momen yang bernuansa emosional itu cenderung sulit menguap dan hilang ya lae. Ibarat data yang tersimpan di flash disc ketika dialiri arus listrik bisa dipanggil keluar dan terpampang jelas di layar monitor. Mungkin tidak berbeda jauh dengan ingatan. Sehingga saya terkadang berpikir masa lalu itu sebenarnya tiada selain hanya pasang surut ingatan di kepala.

    Duh mulai puitis deh saya 😆

  2. Iya nih, saya memang sedang bernostalgia. Memang yang namanya nostalgia itu indah. Bagai salju yang turun dimusim penghujan. He..he… ini juga mulai tak penting.

  3. aku juga ingat engkau wahai Rudy. Gitaris handal nan sholeh. Beraliran metal yang rajin sholat. Juga masih ingat dengan teman-teman kita yang lain. Sedang nakal-nakalnya. Hingga beduk takbiran pun ditujukan untuk mengganggu kenyamanan sang kepala sekolah. Semoga Tuhan mengampuni kita semua

Tinggalkan Balasan ke bangirfan Batal balasan