HomeOcehCurhat Seorang Pegawai

Curhat Seorang Pegawai

-

SAYA BERKENALAN dengan seorang pegawai yang tergolong masih muda. Selepas kuliah ia mencoba melamar ke lebih dari 15 tujuan bekerja. Kegigihannya mengarungi tes demi tes akhirnya bermuara dengan segenggam SK pengangkatan pegawai di sebuah instansi yang beken di negara ini. Kami berkenalan akibat sebuah pekerjaan dengan posisi perusahaan yang saya kelola sebagai pelaksana kerja dan ia bagian dari tim pemberi kerja.

Pada suatu kesempatan istirahat, kami ngobrol tentang topik apa pun. Yang penting bergulir diskusi. Di tengah obrolan pengisi kekikukan itu ia menyampaikan keresahannya menjadi pegawai di tempat yang begitu mentereng. Ia bercerita betapa besar tekanan hidup yang harus ia hadapi setelah pindah ke ibukota dan memulai karir di gedung impian ribuan bahkan jutaan sarjana.

Katanya, menjadi pegawai telah membunuh separuh jiwanya karena ia bukan lagi makhluk merdeka. Ia merasa hanya menjadi sekrup di mesin yang begitu mewah. Tak ada jalan mengekspresikan idealisme yang menurutnya dulu sungguh menggebu saat masih duduk di bangku kuliah. Ia belum menikah dan kantor tempatnya bekerja seolah telah mengungkung hampir seluruh bagian penting dalam hidupnya. Baginya, kesendirian hanya tersisa di waktu ia akan memejamkan mata. Begitu terbangun kembali hidupnya sudah secara otomatis diset untuk kepentingan kantor.

Kami belum lama berkenalan. Saya merasa sulit memposisikan diri dengan curhat mengeluh dan menyalahkan keadaan seperti ini. Bila banyak berkomentar sedangkan belum paham betul kepribadian yang bersangkutan, bisa-bisa malah kontra produktif nantinya. Untuk amannya sama memutuskan menjadi pendengar yang baik, hanya menanggapi seperlunya atas niat sopan santun saja supaya ia tak merasa curhat dengan dinding.

Berbekal penilaian sementara, saya merasa teman baru ini adalah seorang yang cerdas. Dalam setiap diskusi ia selalu menunjukkan pemikiran yang sistematis dan daya analisisnya juga mendalam. Tapi diskusi kami di sela-sela istirahat itu menunjukkan rasa putus asa yang begitu mendalam.

Ia pun melanjutkan curhatnya. Katanya, menjadi pengusaha seperti yang saya tekuni sesungguhnya impiannya sejak kuliah. Tak harus menjadi pengusaha besar, yang penting masih memiliki ruang indepedensi diri yang tinggi. Saya mulai menangkap makna curhatnya. Sepertinya ia sedang membandingkan secara subjektif hidupnya kini dengan rencana hidupnya di masa lalu yang kebetulan sedikit terwakili dengan pilihan hidup yang tengah saya lakoni.

Kemudian ia menyinggung mengenai beratnya beban hidup yang tengah ia hadapi. Pegawai muda ini ternyata menjadi tulang punggung keluarganya. Ia masih membiayai kuliah seorang adiknya dan orang tuanya sudah pensiun. Praktis, biaya hidup orang tuanya juga menjadi tanggungannya. Baginya, pengeluaran yang begitu besar seolah-olah menempatkan dirinya sebagai seekor sapi yang dipaksa bekerja untuk kenikmatan orang lain.

Saya belum berani berkomentar di titik ia mengeluhkan aspek pengeluaran yang besar itu. Tapi ia mengeluarkan jurus untuk mematahkan pertahanan aman yang saya pasang sedari awal. Ia meminta pendapat bagaimana menyikapi hal itu. Rongrongan pertanyaan ini sulit dijawab dengan sikap aman yang saya pasang. Jawaban normatif hanya akan membuat diskusi segera padam. Akhirnya saya mengambil posisi dialog untuk menjawab pertanyaan itu. Tidak memberikan langsung pendapat, melainkan dengan bertanya untuk mendalami dan memberi tanggapan atas jawabannya.

Dari asesmen singkat dengan metode dialog tersebut, saya mengambil kesimpulan ia hanya sedang mengalami over thinking. Terlalu memikirkan sesuatu yang sebenarnya bukanlah masalah besar. Ternyata, komposisi biaya yang harus ia keluarkan untuk orang tua dan biaya sekolah adiknya kurang dari 15 persen total penghasilan setiap bulan yang ia peroleh. Dengan begitu pendapat yang saya sampaikan kepadanya lebih kepada meredakan over thinking-nya yang memang sangat berlebihan. Dapat dipahami memang, anak muda yang baru saja mengalami loncatan penting dalam hidupnya sering gamang dan tersesat dalam pikirannya sendiri.

Tanpa terasa, diskusi untuk meladeni curhatan tersebut telah menyita seluruh waktu istirahat yang tersedia. Ketika mengakhiri diskusi, ia meminta di waktu istirahat makan siang besok ngobrol lagi melanjutkan topik hari ini. Saya tidak bisa menolak. Maka, esok hari diskusi yang sama kami teruskan. Tetap seru karena yang bersangkutan ternyata lebih menggebu ketika diskusi dibandingkan saat curhat monolog.

Begitu diskusi di hari kedua selesai, ia mengatakan bahwa perasaannya kini lebih plong. Gundah gulana yang menerpanya berbulan-bulan seperti menguap. Sebelum mengakhiri obrolan sela istirahat itu saya beranikan bertanya berapa besar penghasilan yang ia peroleh sebagai pegawai yang relatif masih baru. Semata-mata untuk menaruh empati padanya. Ternyata, jumlah penghasilan perbulannya setara dengan penghasilan yang mampu saya peroleh sepuluh bulan.

Beruntung baginya, diskusi hari itu membuatnya lega menjalani hidup. Sial bagiku, ternyata isi nasihat dan pendapat yang saya lontarkan di dua hari ini jauh lebih tepat dialamatkan untuk diri sendiri. Hiks…

Tulisan sebelumnya
Tulisan berikutnya

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest Post