Ini peristiwa dua tahun lalu, seorang sahabat dari Sumatera Utara kontak saya. Rupanya dia sedang berada di kota Sumedang. Ia sedang studi banding ke DPRD kota Sumedang. Sahabat ini sudah jadi anggota DPRD sejak 2004 dan pemilu 2009 ini tetap eksis di bangku yang sama.

“Selepas acara mau singgah dulu di Bandung,” begitu dia bilang. Rencananya cuma sebentar saja singgah di Bandung, karena mereka harus langsung ke Jakarta.

Saya tanya, mereka akan naik apa dari Sumedang ke Bandung? eh ternyata mau naik bis. Wah..wah… anggota dewan yang satu ini memang suka rada aneh. Dimana-mana, yang namanya pejabat biasanya minta disiapin mobil, pake jemputan atau akomodasi yang layak lah. Tapi dia ga, malah ingin fasilitas termurah. Tempat menginapnya disana juga hotel kelas bawah.

“Tamu itu raja,” begitu kata pepatah. Mematuhi pepatah itu, saya pun ambil inisiatif menyewa mobil. Tak perlu memberitahunya, biar jadi surprise dikit-dikit. Mobil sewaan sudah tersedia, langsung saya bawa meluncur ke Sumedang. Dari Bandung sekitar 1,5 jam sudah sampai di kota tempat Cut Nyak Dien bersemayam itu.

Sampai disana, saya sms dia. “Sudah di Sumedang nih”, begitu isinya. Betul saja, dia langsung telpon dengan nada yang terkesan kaget. Menjelang tengah hari kami berangkat dari kota itu. Mendaki jalan yang meliuk-liuk menuju Bandung.

Di Bandung jalan-jalan sebentar. Lalu perjalanan ke Jakarta kami lanjutkan selepas isya.

Kami tiba di Jakarta sudah hampir tengah malam. Nyari-nyari alamat hotel tempat mereka menginap lumayan lama juga. Saya kurang paham daerah yang dituju. Sampai di hotel, eh… ternyata sudah penuh. Rekan-rekannya sesama anggota DPRD ternyata banyak yang tidak ikut ke kota Sumedang. Mereka asik-asik di Jakarta, padahal agendanya studi banding ke Sumedang. Saya diberitahu memang begitulah setiap kunjungan atau stubi banding berlangsung. Hanya segelintir yang kerja beneran, sisanya pelesiran.

Dan… yang parah lagi, kamar untuk menginap rekan-rekannya yang benar-benar mengikuti agenda tak dipesan. Dari balik stir, saya melihat mereka agak bersitegang. Maklumlah orang Medan, diskusi nyantai aja kesannya bisa seperti lagi marahan. Apalagi kalau marah beneran.

Kecewa dengan sikap rekan-rekannya itu, mereka memutuskan mencari penginapan di salah satu apartemen di kawasan utara Jakarta. Kebetulan ada sobat mereka yang tinggal di sana. Mungkin sang sobat lama itu bisa bantu mencarikan kamar apartemen untuk disewa.

Mereka pun menghubungi sang ‘kawan’ itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 dinihari. Dari nada percakapan mereka, sepertinya yang di ujung telepon sana agak terganggu. Pukul 12 dinihari itu waktu yang paling asik menikmati tidur malam. Eh.. malah diganggu ama segerombolan orang yang bingung cari penginapan di Ibu Kota yang sebenarnya menyediakan banyak sekali alternatif menginap. Tapi kenapa harus ngerepotin orang lain? Pertanyaan itu aku simpan saja. Sebab aku tau karakter orang Medan, lebih baik merepotkan orang lain daripada dianggap sombong.

Ternyata si kawan yang menjadi karyawan salah satu BUMN besar itu sudah jadi orang Jakarta beneran. Ia senewen lihat teman-temannya ini mengusiknya di tengah malam hanya karena persoalan penginapan. Kebetulan ia tinggal di salah satu apartemen di Jakarta Utara. Teman-temannya gerombolan anggota dewan ini ingin juga menginap di apertemen itu, tentunya menyewa sendiri. Biar pagi-pagi bisa sekalian silaturahmi dengan temannya yang sudah lama di Jakarta.

“Oke… aku pesankan kamar untuk kalian. Sudah tau jalan kesini?” tanyanya tanpa bisa menyembunyikan nada kantuk di suaranya. “Manalah kami tau” jawab yang menelpon di mobil. Saya tetap saja menyetir dengan kecepatan rendah agar tidak mutar-mutar nantinya.

“Mana supirnya?, biar aku saja yang ngasih tau” katanya. Telpon itu pun lalu diserahkan padaku. “Kamu supirnya?” kata orang di ujung sana, setelah saya sapa dengan “halo..”.

“Betul Pak, saya supirnya,” sebab dari tadi pagi secara teknis saya memang menjadi supir mereka. Supir sukarela tentunya yang harus membayar sewa rental dengan sukarela pula.

“Kamu tau Kelapa Gading kan?”

“Ya Pak, saya tahu,” padahal jujur, saya cuma tahu sekilas saja. Kalau disuruh kesana harus nanya-nyanya dulu. “Oke.., nanti masuk ke simpang ‘ini’ belok kanan, belok lagi. Setelah ketemu ‘itu’ nanti lurus saja sampai ketemu,’ Aduh… saya sama sekali ga mendapatkan gambaran spasial apa yang dikatakannya. “Pak saya catat dulu ya, boleh diulang?” pinta saya.

“Loh… kamu ini supir apa sih, itu kan petunjuk sudah jelas?” waduh kena semprot euy… “Baik Pak, bagaimana kalau nanti sampai Kelapa Gading saya telepon lagi?” Klik, telpon itu langsung diputus.

Kami langsung meluncur ke Kelapa Gading setelah nanya sana-sini. Maklum, ketika itu saya belum paham seluk beluk Jakarta. Kalau sekarang sih, peta om Google sudah bisa menjawab semuanya.

Sampai di Kelapa Gading saya minta orang yang tadi memandu jalan ditelpon lagi. Soalnya saya benar-benar clueless karena selain ngomongnya cepat, saya ga hapal petunjuk yang diberikan. “Halo, sudah dimana sekarang?” tanyanya begitu telpon nyambung. “Baru masuk ke Jalan Boulevard Pak” jawab saya. Ia langsung marah-marah. “Kan sudah saya bilang tadi petunjuknya, apa kamu tidak dengar?”.

Semua orang bisa mendengar percakapan itu. Teman saya yang ada di mobil, yang anggota dewan itu, langsung mengambil telepon. “Hei b**i, sopan dikit kau bicara!,” asik… ini akan jadi percapakapan ala medan. Sudah lama tak dengar yang begini. he..he…

“Yang bawa kami kesini bukan supir sembarangan,” iya lah…. saya kan supir sambilan.

“Istrinya dokter, biar kau tau,” alah… bawa istri segala, lagian istri saya bukan dokter melainkan sarjana Keperawatan.

“Dia alumni ITB,” alamak… bawa-bawa almamater segala.

“Hati-hati kau bicara, cepat minta maaf,” kata teman saya seraya mengantarkan telepon genggam itu ke saya.

Di ujung suara sana mendadak hening, lalu ia berujar dengan nada yang sangat berbeda.

“Pak, saya benar-benar minta maaf. Saya tidak bermaksud kasar, saya pikir tadi supir rental,” katanya. “Baik Pak, tidak masalah. Bisa dipandu lagi menuju kesana Pak?” jawab saya. Sebenarnya tergoda juga ingin membalikkan keadaaan. Tapi sudahlah… buat apa juga.

Sampai di lokasi, masalah tak berhenti. Mereka saling beradu argumen saja. Tapi saya sudahi sampai di sini saja. Toh intinya kan pengalaman jadi supir di tengah malam di ibu kota.

Saya pulang ke Bandung malam itu juga sambil senyum-senyum. Saya jadi kepikiran, jangan-jangan saya juga sering memperlakukan orang lain secara berbeda berdasarkan status sosialnya?. Bagaimana kalau istri saya hanya buruh pabrik? bagaimana kalau saya hanya lulusan SMP? Apakah ia masih rela menyampaikan maaf begitu? Senyum-senyum saya masih berlanjut, kok bisa ya dia langsung berbalik arah begitu setelah dengar saya suaminya siapa dan lulusan mana? Apakah lulusan ITB sebegitu hebatnya dimatanya? Apakah dokter sebegitu terhormatnya?

Apa saya nyambil aja jadi supir rental ya?

sumber foto: www.shutterstock.com

4 KOMENTAR

  1. Mantap..

    Kang, Bisa diulang ‘diskusi’ ala medannya ? tampaknya itu yang lebih menarik.. Hihihi..

    *sedikit banyak pernah terlibat dalam ‘diskusi’ ala orang medan.

    🙂 🙂

Tinggalkan Balasan ke Hari Batal balasan