Saya punya dua sketsa. Terjadi pada hari yang berdekatan. Meski tak begitu nyambung tapi marilah kita sambungkan.

Sketsa pertama.

Saya berkunjung lagi ke Dufan. Itu karena saya yakin masih muda dan masih layak naik segala macam wahana disana. Sebenarnya berkunjung ke dufan ini ide istri saya :D. Dan demi dia saya dengan senang hati mengiyakannya. Dufan memang hebat, selalu dipenuhi oleh orang-orang yang anehnya mau disiksa dan harus bayar mahal pula. Sensasi yang ingin dikejar, katanya.

Setelah lelah dikerjain berbagai wahana kami istirahat sambil menikmati minuman yang kami beli. Kalau Anda pernah ke Dufan pasti tau betul disana ada sebuah panggung yang biasanya digunakan untuk berbagai pertunjukan demi menyemarakkan suasana disana. Pada hari itu ada festival kejepang-jepangan. Ah, saya lupa namanya apa. Jadi saya sebut saja kejepang-jepangan.

Ceritanya berkumpullah berbagai orang untuk dinilai oleh dewan juri. Mereka berpakaian ala Jepang. Totally sekali. Bukan hanya pakaiannya saja. Wajah mereka permak sedemikian rupa sampai mirip betul dengan orang jepang sejati. Ngomongnya juga dibuat lari dari logat Indonesia manapun. Ada yang jadi Oshin, jadi satria baja hitam, jadi sailor moon, dan banyak makhluk jadi-jadian ala jepang lainnya.

Menarik sekali tontonan itu. Hingga saya minta istri saya agak maju ke panggung. Berdiri di sana, sedikit senyum, dan saya jepret pakai kamera. Mereka yang tadi ikut lomba jadi latar belakangnya.

Sketsa kedua,

Beberapa hari berikutnya saya sudah ada di sebuah hotel nan megah. Masih di ibukota. Hotel Shangri-La namanya. Itu hotel mewah sekali. Tak peduli siapapun yang hendak masuk harus diperiksa dulu. Kita semua berpotensi jadi teroris. Saya ingat beberapa tahun lalu kami pernah nge-band di hotel ini. Sangkin mewahnya kami tak sanggup menelan makanan yang disediakan. Aneh betul dengan lidah orang udik seperti kami.

Tapi bukan ngeband itu yang ingin saya sketsakan. Itu hanya teringatnya saja.

Pada hari itu saya mengikuti sebuah perhelatan akbar bidang pertambangan. Ada seminar, ada pula pameran. Tak sembarang orang bisa masuk. Kita harus terdaftar dulu. Registrasi dulu. Baru diberi id card, pertanda kita punya hak masuk kedalam. Saya bawa istri lagi, tapi dia tak punya hak masuk. Jadi menunggu sajalah seharian.

Beberapa pejabat negeri ini sedang memaparkan kondisi iklim investasi industri pertambangan Indonesia. Melalui seminar dan pameran ini pemerintah berharap investasi pertambangan bisa lebih digalakkan kembali. Selama ini pemerintah mungkin terlalu galak, sehingga banyak yang lari. Tapi mengapa harus tambah digalakkan lagi?

Saya menatap sebuah layar besar yang menampilkan grafik tentang “rasa cinta” bangsa jepang terhadap Indonesia. Rasa cinta dalam konteks investasi ni ceritanya. Ternyata sejak 1997 hingga sekarang Indonesia secara teratur jatuh dari lirikan bangsa Jepang. Melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Jepang merilis negara-negara yang paling mereka “cintai” untuk investasi. Judulnya Negara-negara Paling Prospektif dalam FDI oleh Perusahaan Jepang. FDI itu singkatan dari Foreign Direct Investment & Development.

***

Tiba-tiba saya teringat pada sketsa pertama. Akhir-akhir ini anak-anak muda Indonesia sedang gandrungnya mencintai segala hal tentang bangsa Jepang. Japanesse Addicted. Saya berpendapat gara-garanya komik, film, lagu, dan fashion jepang begitu mengena. Kalau dari sisi pencapaian aspek teknologi saya masih agak meragukannya.

Anak-anak muda kita begitu cinta mati dengan budaya Jepang. Disaat yang sama Jepang sudah tak begitu tertarik dengan bangsa Indonesia. Tahun 1997 kita menjadi negara yang paling dicinta setelah China dan Amerika. Sekarang Vietnam, Thailand dan India sudah “menyepak” kita dan turun terus.

Inilah cinta yang bertepuk sebelah tangan itu.

Kiri : Indonesia turun terus jadi negara paling prospektif di mata perusahaan jepang.

Kanan : itu orang Indonesia semua. asli dan original mereka keturunan indonesia.

Bawah : kita tau dia sedang kesepian, tak populer lagi.

2 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan ke CatatanHatiKu Batal balasan