MUHAMMAD HATTA adalah salah seorang negawaran besar negeri ini yang terkenal paling rasional sekaligus religius. Kekukuhannya memegang prinsip hidup agama menjadikannya pribadi yang dikenal kaku. Sewaktu kuliah di negeri Belanda, saban kongkow dengan teman-temannya, Bung Hatta selalu meminta teh atau kopi, sementara teman-temannya asyik minum bir.

Kekakuan penampilan Bung Hatta sesungguhnya adalah cermin keteguhan pendiriannya. Bahkan, saat bermain tennis atau mendaki gunung, Muhammad Hatta selalu “salah kostum” karena di acara seperti itu tetap tampil necis dengan setelan jasnya.

Dengan membaca otobiografi Muhammad Hatta, kita melihat bagaimana rasionalnya pemikiran Muhammad Hatta. Ia tidak terpaku pada teori yang sudah ada, juga tak lantas percaya dengan argumen orang lain. Proklamator kemerdekaan Indonesia ini selalu memiliki argumen yang mudah dicerna akal sehat. Lihat saja bagaimana ia berpolemik dengan Sukarno di sekitar tahun 1932 mengenai asas non kooperatif. Saat itu Sukarno yang aktif di Partindo “menghajar” Bung Hatta melalui tulisan-tulisannya tentang sikap politik Muhammad Hatta yang ia nilai sudah lari dari asas non kooperatif. M. Hatta lantas meladeni tuduhan tersebut melalui tulisan juga di Daulat Rakjat dengan sangat bernas.

Berkaitan dengan sisi religius dan rasional M. Hatta, ada kejadian unik yang dalam otobiografinya Bung Hatta sebut dengan istilah “Kejadian Lucu”.

Pada tahun 1932, Bung Hatta berangkat ke Sumatera Barat untuk mendirikan Cabang PNI Maninjau. Di suatu siang, mobil yang ia tumpangi ditabrak mobil lain yang melaju kencang. Akibat kecelakaan itu kening Bung Hatta terluka berdarah dan tangan kirinya terkilir.

Setelah berobat ke rumah sakit ia mendapat perban di kening tetapi tangan yang terkilir belum sembuh juga sehingga M. Hatta mencari tukang pijat (pandai urut). Temannya yang bernama Anwar Saidi memberi rekomendasi berobat kepada pandai urut yang akan memijat menggunakan media ayam. Ternyata usul tersebut direstui orangtua Muhammad Hatta. Esok paginya mereka pun berangkat ke Sungai Puar, ke tempat sang pandai urut.

Bung Hatta sebenarnya enggan menggunakan jasa pandai urut yang menggunakan media ayam itu. Baginya metode itu tidak masuk akal. Sang pandai urut sama sekali tidak menyentuh tangan yang terkilir. Ia malah mengurut kaki ayam. Tetapi pijat ghaib itu terbukti ampuh. Pukul 12.00 ayam diurut dan Bung Hatta merasakan sakit luar biasa di tangannya lalu berangsur-angsur hilang. Pukul 15.00 sakit terkilir itu sudah hilang sama sekali.

Meskipun metode pijat ghaib itu tidak masuk akal Bung Hatta yang lulusan negeri Belanda tetap  menghormati praktik tersebut meskipun belum dapat terjelaskan secara rasional.  Bung Hatta sendiri tidak mengatakan pengobatan itu sebagai pijat ghaib, melainkan mengurut dengan ma’rifat. Keren ya? ***

 

TINGGALKAN BALASAN