Pernah mencicipi jadi murid TK? Saya belum. Tapi waktu kecil saya tetanggaan dengan sebuah TK. Tiap hari dengar anak-anak mungil seusia saya bernyanyi. Makan bersama dan bermain di taman. Taman kanak-kanak namanya.

Kedua Kakak saya sudah masuk SD. Di rumah sepi. Itulah sebabnya saya ingin sekali sekolah. Anak sekolah begitu rapi dan ceria saat berangkat sekolah. Membuat iri anak-anak seperti saya.

Tibalah masa saya masuk SD. Berdendang riang ke sekolah pakai sepatu dan seragam sekolah. Ingin sekali bisa membaca. Selama ini, Kakak saya sudah mengajari saya bagaimana menulis nama sendiri. Jadi saya hanya bisa mengenali huruf yang membentuk nama saya sendiri.

Sudah dua hari saya menjalani sekolah. Lantas saya tanya ke Kakak saya yang sudah duduk di bangku kelas 2. Bagaimana caranya membaca. Sebab saya belum juga bisa membaca huruf-huruf selain nama saya.

Kakak saya bilang “gampang kok. Liat aja di sebelah kiri itu ada gambarnya. Dikanan ada tulisannya.”

“Contohnya gini. Ini kan ada gambar ayah. Berarti tulisannya ‘Ini Ayah Budi’

“Nah kalau gambar ini, tulisannya ‘Ini Wati’

Begitu seterusnya. Kakakku yang satu ini mengajariku jalan pintas membaca buku. Buku kelas 1 SD itu tulisannya besar-besar dengan ilustrasi gambar untuk setiap kalimatnya. Sungguh senangnya hati ini sudah mendapat ilmu sakti mandraguna dari sang kakak. Membaca ternyata tak sulit. Cukup liat gambarnya maka tulisannya INI BLA..BLA…

Sore menjelang malam aku hampiri ibuku. “Ma, ipan sudah bisa baca”, aku semangat menyampaikan informasi itu pada ibuku. Ibu pasti senang sekali melihat anaknya yang jenius. Cuma dua hari sekolah sudah bisa baca.

Ia hampiri saya dengan penuh rasa ingin tau. Lantas saya keluarkan buku kelas 1 SD itu dan mulai mendemonstrasikan kemampuan membaca yang sudah saya miliki.

Ibu geleng-geleng kepala melihat saya melibas habis bacaan tentang keluarga Budi. “Ini Budi. Ini Ibu Budi. Ini Wati. Ini Iwan.” Semuanya pake ini.

Tibalah pada bagian buah-buahan. Ada mangga, pisang, nenas, jeruk, dan lainnya. Saya juga sudah lupa. Tapi ada satu buah yang saya tak akan lupa.

Saya melihat sebuah gambar pepaya, langsung saya baca “Ini Kates..”

“Ha…?” ibuku setengah berteriak. Mungkin agak terkejut.

Ini kates

“Ini bukan kates. Ini pepaya.”

“Ga Ma, ini kates”, saya ngotot sehabis-habisnya.

Ibu hanya tersenyum dan mengelus kepala saya. Akhirnya kedok saya terbongkar juga. Sambil menutup buku itu Ibu mengajari saya dari basic lagi untuk mengenal huruf dulu. Ibu pasti tau kalau saya belum pernah mengenal terminologi pepaya untuk buah manis berair berwarna orange itu. Yang kami kenal buah itu bernama kates bukan pepaya.

Dasar kakakku, ia telah mengajari saya dengan jalan yang sesat. Tapi dengan kates itu saya mengerti bahwa membaca memang membawa kita pada wawasan yang lebih luas. Dari tak kenal menjadi kenal. Tak paham jadi paham. Apalagi kalau membaca sambil makan kates, o.. betapa nikmatnya.

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaJadi Pejabat
Tulisan berikutnyaHarta dan Hardisk

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN