Sore-sore ada yang datang. Mengetuk pintu dulu. Sambil ucap salam juga. Saya buka daun pintu itu. Mereka sudah berbaris di depan rumah. Tersenyum dan langsung ulurkan tangan untuk berjabat tangan.

“Maaf mengganggu Pak. Sesuai janji kita di telpon kemarin, kami ke sini mau melanjutkan diskusi itu”

“O.. ya.ya, mari masuk. Silahkan”, saya giring mereka ke ruang tamu dan mereka sudah maklum harus duduk sendiri. Karena disitu ada tempat duduk berwarna coklat susu nan empuk.

“Cuma bertiga saja Dik?”

“Iya Pak. Ini Margono, komandan lapangan kita. Yang baju hijau Mas Atutah, biasa mengurus administrasi macam-macam. Dia punya koneksi luas sekali dimana-mana”

Keduanya tersenyum simpul saat Budi, juru bicara mereka memberi perkenalan untuk saya. Margono badannya tegap. Saya yakin kalau dilapangan dia adalah macan. Tapi saat ini, di ruangan ini, dia bagai kerbau dicucuk hidungnya. Diam saja dan manggut-manggut. Sedikit-sedikit senyum. Persis seperti lagu lama. Si hitam manis, kalau tersenyum manis sekali. Atutah yang berbaju hijau dari tadi tak lepas dengan topinya. Tetap nempel dikepala. Saya yakin dia enggan buka topi karena ada botak dikepalanya.

“Ya..ya…, tadi susah ga nyampe sini? tapi sebentar ya… Bi.. tolong buatkan minuman ya… ada tamu nih”

“Ga kok Pak, kami sudah hapal betul daerah ini”

“Bagaimana keluarga Pak, sehat-sehat saja kan?”

“Alhamdulillah sehat semuanya Dik”. Bi minah sudah datang bawa nampan berisi empat gelas berisi air seperti darah. Sirup namanya. Tapi saya tak tau mereknya apa.

“Silahkan diminum Dik. Sambil bincang-bincang meneruskan diskusi kemarin. Betul dik Budi?”

“He..he.. iya Pak”, Budi yang jabatannya sekjen partai itu tertawa sambil mengangkat gelas di hadapannya.

“O ya Pak, meneruskan yang kemarin. Bagaimana, sudah dipertimbangkan tawaran partai kami Pak? Terus terang, kami sangat mengharapkan kesediaan Bapak menjadi calon yang kami usung.”

“Iya Dik Budi. Saya sudah diskusi juga dengan keluarga dan beberapa sahabat dekat. Mereka juga turut mendukung. Tapi saya agak gamang juga sekarang”

Budi langsung membetulkan duduknya. Sebuah bahasa tubuh yang ingin memberikan intonasi pada kata-kata yang akan ia ucapkan.

“Tak perlu gamang Pak. Kami sudah melakukan survei berkali-kali. Pihak lain juga sudah. Bapaklah yang punya peluang paling besar untuk naik jadi gurbernur kita. Tim kami di partai juga sudah siap mendukung habis-habisan. Mesin partai kami berjalan efektif sampai pelosok. Media sudah kami kuasai, kader-kader kami pun tersebar, kami sudah pengalaman menjalankan strategi pemenangan. Pokoknya kita sudah lebih dari sekedar siap Pak”

Saya manggut juga. Meyakinkan sekali Dik Budi ini. Dia memang layak jadi sekjen partai. Pantas saja partai mereka cukup naik daun saat ini.

“Kalau begitu, hati saya tambah yakin Dik. Lantas bagaimana langkah kita selanjutnya?”

“Sederhana saja Pak. Kami sudah atur semuanya. Besok akan kami siapkan seluruh materi kepemimpinan Bapak untuk kampanye. Silahkan dikoreksi, kalau ada yang kurang cocok kita diskusikan lagi. Begitu klop kita langsung jalan. Bapak tak perlu pusing ini itu. Siapkan saja mahar senilai yang kita bicarakan kemarin Pak. Urusan teknis lainnya serahkan pada kami”

“Dua milyar ya Dik?”

“Iya Pak, kira-kira segitu. Kalau lebih juga alhamdulillah. Ha…ha…”

“Okelah, kita lanjutkan saja. Saya ada tanah perkebunan yang mau dijual. Tolong bantu mencari pembelinya juga ya Dik. Dua tiga bulan ini maharnya insya Allah sudah siaplah”

“O ya, kalau mau ambil foto untuk kampanye nanti di Jakarta saja ya Dik. Biar hasilnya bagus”

“Siap Pak…”, Atutah menimpali dan berseri-seri. Dia sungguh senang saat saya bilang oke. Berarti job pemenangan pemilu sudah ditangan.

“Satu lagi Pak. Kami sudah menyiapkan juga pasangan untuk Bapak sebagai calon wakil nanti. Artis ibukota. Namanya Aming Sucinanmurni”

“Aha… artis. Bagus saya suka itu. Kalian memang mantap”

“He..he…”, kami tertawa serentak. Bersama-sama dan menggelegar.

Dalam tawa itu sambil membayangkan kesuksesan jadi pejabat nanti, istri saya datang. Mengelus-ngelus kepala saya. Ikut tersenyum juga. Sambil berkata lembut.

“Bang.., sudah subuh. Sholat yuk…”

Oh aduhai, ternyata saya hanya mimpi. Kenapa pula mimpinya jadi pejabat ya? Mungkin karena dimusim lebaran ini saya banyak melancong kesana kemari dan menyaksikan sebuah euforia demokrasi. Saat semua orang bisa jadi pejabat dan mencetak poster ukuran besar agar orang ingat padanya dan memilihnya bila ada di bilik pencoblosan.

Mari ah..

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaAdzan
Tulisan berikutnyaKates

2 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan ke bangirfan Batal balasan