SEKITAR tujuh tahun lalu aku menumpang keretaapi dari Jakarta menuju Bogor. Gerbong memang penuh tetapi masih belum berdesak-desakan. Di sampingku duduklah dua orang ibu, kuduga mereka berdua adalah wanita karir yang baru saja pulang dari tempatnya bekerja.

Salah seorang dari mereka tengah membawa tabloid wanita yang sampai saat ini masih sukses menjadi tabloid paling laris di Indonesia. Awalnya tidak ada yang istimewa dari kedua wanita karir ini sampai mereka berdiskusi, tapi lebih tepat disebut berdebat, mengenai isi tabloid. Pada edisi tersebut sedang hangat diberitakan perceraian pasangan artis dan tabloid itu mengangkatnya menjadi liputan utama.

“Aku ga ngerti deh, kenapa ada laki-laki bodoh yang meninggalkan istrinya secantik itu.”

“Loh… bukannya itu salah istrinya?” timpal temannya.

“Ya ga dong…, ini jelas-jelas dibilang suaminya yang bla..bla…”, begitu seterusnya dan mereka tak henti mengasah gosip itu sampai tiba di stasiun yang mereka tuju.

Capek telinga sebenarnya mendengar debat kedua makhluk pecinta gosip itu. Tapi sejujurnya seru juga ikut nguping :D. Gosip memang hiburan menarik bagi semua orang. Nasib buruk orang, yang tak ada sangkut pautnya dengan kita, nikmat sekali dijadikan sumber cerita.

Kenapa kita sangat menikmati gosip, hingga tayangan gosip di televisi atau berita gosip di media massa selalu tinggi peminat? Apa kita tak merasa bersalah membicarakan keburukan orang lain? Menurut psychologies.co.uk, kita tahu menggosip itu salah, tapi tetap senang melakukannya karena gosip bisa membangun ikatan sosial. Barangkali itu sebabnya gosip baru seru kalau berbalas pendapat dengan orang lain. Kita jadi punya materi pembicaraan untuk membangun ikatan sosial itu.

Masih menurut artikel yang berjudul “Why we love to gossip?” tadi, salah satu penyebab kita keranjingan dengan gosip adalah karena dengan bergosip kita menjadi merasa memiliki superioritas. Bahwa kita lebih baik dibandingkan dia (yang digosipkan). Itu pula sebabnya bergosip tentang keburukan jauh lebih asyik dibanding bergosip tentang kebaikan orang lain.

Dulu, sumber gosip kebanyakan berasal dari para selebritis yang namanya sedang naik daun sehingga setiap orang penasaran dengan kehidupan pribadinya. Begitu ada celah sedikit, ramailah info itu menjadi gosip dan laris manis disambut para pecinta berita gosip. Gosip pada posisi ini dapat kita artikan sebagai olah informasi perihal pribadi oleh pihak lain yang sama sekali tidak memiliki hubungan. Antara penggosip dan yang digosipkan tidak memiliki relasi langsung. Jikapun memiliki relasi, misalnya menggosipkan teman kerja, pastinya dilakukan dibelakang orang yang bersangkutan.

Nah… sejak tahun lalu (2014), suhu politik di negeri ini tak kunjung mereda. Banyak yang bilang kalau musim pilpres sudah usai maka dunia sosial media akan adem kembali. Nyatanya tidak. Perang link berita masih berlangsung dengan hebatnya.  Aku ndak yakin kita murni bicara tentang politik, karena diskusi politik seharusnya berada pada ranah kemanfaatan pada publik. Kebijakan publik yang kurang baik, okelah, bisa kita angkat jadi bahan diskusi. Tapi masalah remeh temeh seperti cara pakai dasi, memelihara kodok, memelihara kuda, mimik muka yang menyebalkan, dan lain sebagainya bukan lagi ranah politik melainkan sudah masuk dunia gosip.

Rasa suka dan tidak suka kepada figur politik tertentu menjadi kompas utama menanggapi berita. Maka, saling bantah-bantahan tak kunjung surut karena orientasi kita seperti halnya menggosip tadi, yang penting tokoh yang kita suka menang argumen. Lalu, apapun informasi  seputar mereka layak untuk kita share yang cenderung berasa gosip dibandingkan analisis kemanfaatan bagi khalayak.

Sekarang sulit membedakan mana gosip dan mana isu politik karena menggosip soal politik sepertinya pilihan yang lebih terhormat, seolah bicara nasib bangsa tetapi levelnya cuma menggosok berita.

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaCiut Nyali
Tulisan berikutnyaRupiah Sakit Kok Masih Santai?

TINGGALKAN BALASAN