Sebuah ironi di hari ibu

Lampu merah di perempatan Buah Batu – Bandung. Saya berhenti karena lampu yang benar-benar warna merah sedang menyala. Perempatan ini terkenal dengan durasi lampu merahnya yang sungguh lama.

perempatan-buah-batuSaya melaju dari selatan menuju utara. Berhenti tepat digaris batas yang dikasih warna putih. Menyaksikan beratus-ratus kendaraan memacu, saling berkejaran. Bagai balapan massal, mengejar kemenangannya masih-masing. Matahari bertengger diatas sana, segaris ubun-ubun.

Dari arah barat tak seberapa jumlah kendaraan. Semuanya sudah diloloskan oleh lampu hijau menuju timur. Hanya ada beberapa motor yang berjalan lamat-lamat. Pandangan saya jatuh dan lekat pada seorang ibu yang sedang membonceng anaknya pulang dari sekolah. Pelan-pelan mereka susuri jalan terpanjang di kota Bandung ini – Soekarno Hatta, alias by pass.

Belum sampai di tengah perempatan, tiba-tiba saja suara sirene meraung-raung. Tiga motor polisi tanpa aba-aba melanggar lampu merah, diikuti empat atau lima mobil mewah dengan plat khusus. Pastinya itu mobil pejabat, ntah lah pejabat yang mana.

Cekiiittt….”, si Ibu agaknya menarik pelatuk rem motor matic-nya tiba-tiba. Terleok-leok motor itu hampir jatuh dan nyaris tertubruk rombongan mobil mewah yang dikawal polisi tadi. Pucat akibat kaget menyelimuti rona wajah ibu itu. Untungnya dia tak celaka dalam haknya melintas di lampu hijau yang direbut oleh segerombolan orang yang merasa berhak melanggar aturan.

Blegug siah…!”, pekik pak Polisi yang juga kaget sambil menudingkan telunjuknya ke wajah si ibu. Si Ibu muda hanya terdiam karena tak percaya masih selamat dari berhenti mendadak seperti itu. Polisi itu melaju lagi dengan motor besarnya. Gagah dan ganteng penampilannya. Atribut-atribut yang dipakainya itu membuat ia punya hak mengubah dan memberlakukan aturan khusus. Khusus bagi pejabat. The very..very.. important person.

Orang di dalam mobil hitam mewah itu juga tak lupa membuka jendela pintunya dengan sekali sentuh dan melempar tatapan tak suka. Bahkan nyaris tatapan benci ke pengendara motor yang sedang menjemput buah hatinya itu. Ibu dan anak yang hampir habis nyawanya di perempatan buah batu.

Gemes…, gemes saya melihatnya. Aksi penguasa seperti ini bukan hanya sekali-kalinya ini aja. Atas nama agenda penting mereka bisa saja menginjak-injak aturan yang susah payah kita usahan untuk ditegakkan. Lihatlah cerminan perilaku pejabat kita saat berada di jalan raya. Lihatlah betapa risihnya mereka berbagi hak bersama di jalanan.

Mungkin pak polisi yang gagah dan siapapun orang terhormat di dalam mobil itu sedang lupa. Pejabat sehebat apapun dia, adalah pelayan rakyat. Demokrasi yang ada dalam otak mereka memang aneh. Pelayan di negeri ini bisa jadi penguasa yang “se-enake dewe” saja.

Sekali lagi saya masih gemes. Hampir saja mengutuk-ngutuk. Tapi khawatir mereka itu jadi makhluk terkutuk. Cukuplah gemes sambil berniat dalam hati untuk tetap mematuhi peraturan yang ada. Masalah pejabat itu mau patuh atau tidak dengan apa-apa yang disusunnya, biar sajalah. Toh ada dua malaikat kok yang sedang duduk bersama dia di mobil itu sambil geleng-geleng kepala dan mencoret-coret catatan.

2 KOMENTAR

  1. hohoho..
    uwa saya salah seorang pejabat jg kang, pergi dan pulang kantor dikawal voorijder..

    suatu pagi hari anaknya (sepupu saya) hendak melangsungkan akad nikah,
    saya turut merasakan nikmatnya iring2an disertai kawalan membelah kemacetan antapani..hehehe

    ya..ya… mungkin nikmat itulah yang mereka rasakan Faris. Saya rasa umpatan orang-orang yang terpaksa minggir tidak akan mengurangi sama sekali keberkahan akad nikahnya. Betul..? jadi lanjut sajalah..he..he..

Tinggalkan Balasan ke rudy Batal balasan