Ini kejadian terlaksana saat saya masih beberapa bulan menduduki ITB – kuliah maksudnya. Itu tahun permulaan milenium ketiga. Icon sebuah zaman canggih.

Tapi saksikanlah kami anak kampung ini. Baru dua atau tiga bulan mencicipi hidup di kota Bandung. Angkot yang kami kenal-pun cuma Kalapa-Dago aja. Warnanya hijau bercampur merah. Mirip seperti kumbang. Itu sebabnya kalau kami kemana-mana pun harus ikut rute angkot itu saja.

Maka, tibalah disuatu senja. Saya (ITB orange) dan teman saya (ITB merah) berjanji muter-muter di Bandung. JJS kata anak-anak dulu. Kami berangkat menuju pusat peradaban kota Bandung dari masa ke masa – jalan cikapundung. Itu jalan bersejarah sekali. Dekat dengan alun-alun, bersampingan dengan gedung asia afrika, dan tak jauh dari jalan braga yang terkenal itu.

Disana banyak pedagang menggelar buku dan majalah bekas. Menarik sekali. Apalagi bagi kami mahasiswa yang haus ilmu pengetahuan begini, tapi haus juga kantongnya. Ini adalah surga bagi kami yang ingin sekali jadi intelektual. Orang pintar lulusan perguruan tinggi dan kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah kebenaran.

Bersama pengunjung lain, kamipun tenggelam dalam larut suasana cikapundung disore hari. Tiba-tiba di suatu sudut jalan ada sebuah keramaian. Banyak sekali orang yang ikut ngumpul. Bikin penasaran saja.

Yuk ah, kita kesana, ada apa sih?” saya tarik tangan temanku ini. Kamipun menuju kesana. Ikut berkumpul bersama mereka. O.. ternyata ada sebuah presentasi menarik berlangsung di kaki lima ini. Seorang Bapak separuh baya sedang duduk diatas sebuah kursi tua berwarna kusam. Ia memakai sorban, pakai tasbih juga, meyakinkan sekali. Suaranya berat dan intonasinya mantap.

Ia sedang menjelaskan sebuah keajaiban alam, “saya akan memperlihatkan kuasa Tuhan sebentar lagi” katanya. Aduh.. itu suara dan gaya menyakinkan sekali. Kami ambil duduk disana. Menikmati alur cerita yang sedang disampaikan si Bapak.

Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah batu cincin. “Inilah yang ingin saya sampaikan tentang kuasa Tuhan tadi“, katanya sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi menunjukkan batu berkilat itu. “Ini bisa menyembuhkan penyakit apapun. Guru kami sudah memasukkan segala jenis doa didalamnya“, ia masih lanjut membeberkan panjang lebar produk yang sedang dipresentasikan.

Berbagai petuah ia sampaikan. Sehubungan dengan segala keajaiban batu cincinnya itu. Kemudian ia berkata “benda keramat ini bukan hanya punya manfaat besar, tapi juga bisa mendatangkan malapetaka bagi orang yang tidak percaya“, nadanya mulai setengah mengancam.

Salah seorang penonton seperti kami mengeluarkan celoteh, “ah… ga benar itu“. Sejurus kemudian pemuda bercelana jeans biru itu tiba-tiba terhempas dan menggelepar-gelepar. Suasana pun begitu menegangkan. “Saya tidak bertanggung jawab bila ada yang seperti itu lagi“, kata sang presenter benda ajaib itu. Kami langsung ambil kesimpulan “sakti benar si Bapak ni“.

Masih ada juga yang bandel, dia berdiri dari duduknya dan hendak keluar dari kerumunan itu. Tapi belum sempat ia keluar, pemuda berjaket kulit itu juga mengalami nasib yang sama. Jatuh dan menggelepar. “Alamak, mati kita” dalam hatiku. Posisi kami persisi di depan Bapak yang sakti mandraguna itu. Kalau mau kabur, khawatir mengalami kejadian naas seperti itu juga.

Singkat cerita, singkat berita. Kami ditawari (dipaksa persisnya) membeli batu cincin itu seharga 50ribu rupiah. “Mampus…!”, saya tak bawa duit. Teman ITB Merahku ini pun tak bawa. Paling hanya sekedar ongkos saja. Kami sampaikan saja kondisi keuangan kami. Tapi asisten Pak Sakti itu bilang “sudah, beli saja dengan uang yang ada“. Maka terkuraslah isi kantong kami. Kala itu kami belum layak punya dompet, karena belum cukup duit untuk dimasukkan kedalamnya.

Setelah dirampas habis-habisan, kami beranjak pulang. Naik angkot Kalapa – Dago lagi. Duit yang tertinggal pas benar untuk ongkos. Kami terdiam dan membisu. Dua mahasiswa institut paling membanggakan di negeri ini telah dikerjai sekelompok orang di cikapundung. Kami pun saling berjanji tak akan cerita kesiapa-siapa. Itulah sebabnya saya tak sebut nama kawanku si ITB Merah itu.

Memang benar, selama kuliah di ITB kami tak pernah mengungkap rahasia ini. Terbungkus rapi, sesekali kami hanya tersenyum saat terceletuk kata “cikapundung”. Orang lain pasti ga ngerti kenapa kami senyum-senyum saat mendengar kata cikapundung.

Setelah saya fikirkan kembali, siapapun bisa kena tipu. Jangankan kami sang mahasiswa baru yang masih polos betul. Intelektual beneran aja sering kena tipu. Sama-sama di cikapundung mungkin. Tapi dengan kasus yang berbeda. Manipulasi namanya, yang bermuara pada korupsi. “ah.. sok tau benar ni

Tapi marilah kita simak lebih jauh. Korban penipuan ini bisa merajalela dimana-mana. Kalau diambil sederhananya menipu simple aja. Serang dengan argumen yang meyakinkan, lalu kurung dengan ancaman yang tampak menakutkan, trakhir padukan dengan sebuah acting yang meyakinkan. Kita hitung kembali betapa banyak aspek hidup kita yang berjalan dari sebuah tipuan besar. Negara ini pun bisa jadi. Sebabnya ekonomi kita masih diserang bangsa lain. Kontrak-kontrak investasi yang menjamur dengan borok di dalamnya. Maka waspadalah, sebelum kita tertipu lagi.

16 KOMENTAR

  1. itulah yang membuat saya bangga. masih jadi manusia ternyata. karena di kampus kami ada dedemit, namanya hantu lab.

    salam kenal juga cristover, senang sekali disambangi. kita semua suka baca tulis sejak kelas 1 sd kan…

  2. Blog, yang bagus, sungguh 🙂
    Tulisan ini mengingatkan kepada saya banyak kebodohan yang saya buat di Jogja. Ah tapi sudahlah, lebih kita simpan kan? Demi harga diri 😉

  3. Bang Irfan, apa khabar?gawe dimana sekarang?btw bisa2 aja neh ditipu kayak begituan,tu yang 2 orang ngelepar2 teman2 si bapak itu jg, ada2 aja orang2 nyari duit..

    Salam

  4. tuk sahabat Syafree, salam kenal, terimakasih telah berkunjung. sungguh, kita memang perlu belajar dari kebodohan biar ga bodoh beneran

  5. Sobatku Lorenz, baik-baik saja saya disini. Gawe for my self sekarang. Dikau bagaimanakah?
    mereka memang benar-benar ada bang Lorenz, itulah sebabnya saya merasa ditipu.

  6. cincinnya langsung kami tenggelamkan di sungai cikapundung. memang disanalah dia pantas berada. sakit hati? itu hanya bisa disembuhkan oleh hati juga. percayalah… hi..hi…

  7. Maaf lae kalau menurut saya cincin itu tidak bersalah kenapa mesti di tenggelamkan…?
    coba kalau itu dijadikan kenang-kenangan..?
    Cincin tetaplah hanya sebuah cincin benda mati yg demikian adanya.
    masalah tipu menipu..?
    kalau kesadaran seseorang tinggi maka tidak perlu lagi mencari keluar sebab yg kesalahan itu ada di dalam diri.
    kenapa kita mesti percaya sehingga terperdaya.
    cuma itu kok.
    Namun terkadang kita sulit mengakui dan menerima kelemahan diri.

    thank lae atas sharing pengalaman nya .

  8. zaman sekarang..gak ada yg bisa dipercaya kecuali Dia!!!
    btw, mohon maaf lahir bathin yah…coba klu ke sibolga, bisa balimo-limo kitaaa bareng guru-guru matauli wkakaaaa…
    bravo Irfan…
    tetap berkarya kawaannnn!!

  9. eh, Juli berkunjung juga kesini. Makasi ya Juli.
    Nantilah ya, balimo-limonya ketika bulan ramadhan masuk di bulan Juli.

Tinggalkan Balasan ke cristover Batal balasan