Tiga puluh hari masjid-masjid penuh dengan beragam kegiatan ramadhan. Sholat taraweh berjamaah jadi menu utamanya. Umumnya, selepas sholat isya, sebelum taraweh dimulai, ada yang namanya ceramah taraweh. Kurang lebih sejenis dengan kuliah singkat agama.

Masjid Salman ITB jadi tempat favoritku menjalani malam-malam ramadhan. Tema ceramah di masjid kampus ITB ini sangat variatif, tidak klise, dan membuka wawasan. Ada satu ceramah yang sampai saat ini masih melekat kuat dalam ingatan. Setiap ramadhan tiba, aku lantas teringat dengan sang penceramah. Sayangnya ceramah itu tak disampaikan di Masjid Salman ITB.

Pada suatu malam di tahun 2007 aku sholat taraweh di salah satu Masjid di daerah Sukaluyu Bandung. [Nama masjidnya lupa]. Selepas sholat Isya, seorang sepuh naik mimbar, siap-siap menjalankan tugas sebagai penceramah. Ia mengenakan jas berwarna coklat tua. Berkacamata dan sebuah peci yang tak lagi sempurna warna hitamnya ‘nongkrong’ di atas kepalanya.

“Hm…,” ia berdehem. Mencoba melancarkan produksi vokalnya.

“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaaaatuh..”

“Wa ‘alaikum salam..” jawab hadirin tak serempak dan hanya terdengar sayup. Padahal masjid hampir penuh.

“Hadirin, meskipun kita tadi hanya berbuka dengan sepiring nasi dan ikan asin saja, tapi itulah nikmat paling besar yang Allah berikan pada kita. Semoga kita segera bertemu denganNya.”

“Wassalamu ‘alaikum,” seraya ia turun dari mimbar. Kencleng baru saja akan mulai berjalan tapi harus berhenti karena ceramah telah usai. Semua orang saling berpandang-pandangan. Menyimpan tanya dalam hati masing-masing. “Ha..? secepat itu”. “Tadi ngomong apa kok sudah selesai?”

Sumber: detik.com. Maaf bang Hatta, pinjam fotonya untuk ilustrasi.

Ceramah memang benar-benar selesai. Bapak tua itu langsung memimpin jamaah sholat taraweh. Barangkali selama sholat taraweh berlangsung banyak yang masih menyimpan tanya di hatinya.

Bagiku itu ceramah paling berkesan karena beberapa hal.

  1. Unik, keunikannya terletak pada singkatnya ceramah. Ini rekor ceramah paling singkat.
  2. Terserap optimal, seluruh pesan yang ia sampaikan benar-benar melekat di hati. Ini agak berbeda dengan gaya ceramah yang biasa didesain dalam durasi panjang. Bahkan, banyak penceramah yang justru terjebak pada ukuran durasi, bukan kualitas. Sehingga ceramahnya bertele-tele bahkan sering tidak nyambung.
  3. Kesederhaan berbuka puasa, ia menggambarkan kondisi berbuka puasa yang sederhana. Tidak seperti kita kebanyakan, berbuka puasa justru dengan ritual menyantap segala jenis makanan istimewa.
  4. Berbobot,  ini baru aku sadari di belakang hari.

Elaborasi dikit poin terakhir: Berbobot. Ternyata ada hadist yang senada dengan apa yang ia sampaikan. “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari). Barangkali sang penceramah mengambil hikmah dari hadis tersebut. Ia sampaikan dengan bahasa sehari-hari. Yang menarik, awalnya aku belum menangkap maksud kalimat terakhirnya: “semoga kita segera bertemu denganNya.” Dugaan awal itu sekedar doa, tapi doa yang agak aneh bukan?. Namun, setelah membaca hadis itu dan mengingat kembali raut wajah sang penceramah yang seolah memendam rindu itu aku baru tersadar. Ia sudah merasakan kenikmatan berbuka puasa, ada satu lagi nikmat yang hendak ia raih: bertemu dengan Tuhannya.

Subhanallah. Aku juga ingin merasakan kerinduan seperti itu. Maka, setiap ramadhan tiba aku selalu teringat ceramah paling singkat itu.

5 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan ke bangirfan Batal balasan