AKU termasuk pelari yang lebih nyaman lari sendirian. Tadinya sempat khawatir, “jangan-jangan preferensi lari sendirian ini adalah manifestasi dari sifatku yang sesungguhnya yaitu egois?” Aku sangat terganggu dengan hal ini. Egois tentu saja sebuah sifat yang tidak baik dan aku tidak ingin sifat itu melekat dalam diriku.

Tapi setelah beberapa kali mencoba lari sendirian dan berkelompok. Kesimpulan akhir tetap jatuh pada aku lebih suka lari sendiri. Kenapa begitu? Aku coba renungkan alasan kenapa kok lebih senang lari sendiri dibandingkan lari bersama teman-teman? Padahal aku ikut beberapa komunitas lari dan mereka senang sekali mengadakan kegiatan lari bersama. Berikut beberapa alasanku lebih suka menjadi solo runner. Ingat, ini alasan ya bukan argumentasi. Jadi bersifat tentative, sewaktu-waktu bisa berubah dan jangan didebat. He..he..

Aku tidak ingin menjadi beban.

Sebagai pelari kelas siput yang kecepatan berlarinya cenderung terseok-seok, aku selalu merasa menjadi beban bagi yang lain. Terutama bagi mereka yang sudah nyaman berlari di kecepatan jauh di atasku. Aku merasa menjadi beban mereka. Pada beberapa kesempatan lari bareng, aku merasakan hal ini. Boleh jadi aku overthinking, tapi hal itu memang aku rasakan.

Aku tidak ingin menjadi teman lari yang menyebalkan.

Nah ini kebalikan dari poin sebelumnya. Di poin ini jika ada teman lari yang lebih lambat dariku, aku jadi bingung sendiri. Apakah ia nyaman kalau aku memperlambat kecepatan dan mengikuti kecepatannya? Atau lebih baik aku lari lebih awal dan menunggu di beberapa titik tertentu supaya bisa bareng lagi?

Kombinasi membingungkan.

Dua hal bertolak belakang di poin 1 dan 2 tersebut membuatku bingung. Mungkin bagi kebanyakan orang ini tidak masalah, tapi terus terang aku tetap memikirkannya. Either menjadi yang lebih lambat ataupun lebih cepat, keduanya membingungkanku.

Aku menikmati perjalan sendirian.

Munkin karena pada dasarnya aku lebih dominan introvert, dalam berlari aku jauh lebih dapat menikmati jalur perlarian ketika sendiri. Aku sering berhenti saat melihat view yang menarik untuk mengambil foto atau sekedar mengamati. Hal ini tentu aneh kalau aku lakukan saat berlari bersama teman-teman. Bisa saja sih berhenti bareng-bareng, tapi perhatianku terhadap beberapa view menarik berbeda dengan preferensi kebanyakan orang. Misal, setiap lari dan ketemu anjing kampung aku selalu berhenti. Nah… ini kan aneh buat kebanyakan orang yang justru menghindari anjing.

Lari solo memungkinkanku untuk berlari nyaman karena hanya mempertimbangkan kondisi sendiri.

Dalam berlari ada kalanya tubuh kita sedang dalam kondisi prima sehingga enak sekali diajak berlari. Setelah beberapa kilometer, kondisi tubuh cenderung melemah–meskipun nanti prima kembali. Jika berlari sendiri, aku bisa mengatur kapan harus memacu, kapan santai saja, kapan diubah menjadi mode berjalan, atau bahkan kapan harus istirahat. Semuanya sangat tergantung pada situasi sendiri. Ini berbeda kalau berlari bersama orang lain, situasi keprimaan tubuh setiap orang berbeda meskipun sedang berlari bersama. Misalnya, aku sedang dalam kondisi prima dan ingin memacu lari tapi teman sudah lunglai. Aku terpaksa harus menurunkan tempo supaya teman berlari tidak ketingggalan. Begitupun sebaliknya. Kembali, serba salah timbul dalam situasi seperti ini.

Pada beberapa kesempatan lari sendiri, aku sering mendapat pertanyaan sama yang diajukan oleh penjaga warung, petani yang berpapasan di jalan, atau rombongan pesepeda. Mereka selalu menanyakan “lari sendiri saja?”.

Karena sering ditanya begitu aku jadi nyadar ternyata lari sendirian itu tidak begitu lazim bagi kebanyakan orang. Padahal, aku benar-benar lebih dapat menikmati lari saat sendirian. Tapi bukan berarti aku anti lari bersama-sama ya. Ini hanya soal preferensi, mana yang lebih suka. Bukan mana yang suka dan mana yang tidak suka.

Credit photo: https://unsplash.com/@jennyhill

BAGIKAN
Tulisan sebelumnyaLima Pil Pahit Bisnis
Tulisan berikutnyaDua Musim dalam Bisnis

TINGGALKAN BALASAN