~ingin pakai aku~

Sore itu kami sholat maghrib di panti asuhan, setelah siangnya mengisi acara pada milad panti asuhan ini. Bulan lalu pengurus panti datang ke rumah untuk mengundang kami sebagai pengisi acara.

Selepas sholat kami bincang-bincang dengan pengurus panti dan beberapa anak yang tinggal disana. Sambil menunggu rekan-rekan yang lain, aku sempatkan ngobrol dan bertanya-tanya dengan pengurus panti. Ada berapa orang yang tinggal disini?, dari umur berapa saja?, dari mana saja asalnya?, dan pertanyaan standar lainnya.

Setiap selesai sholat maghrib mereka berkumpul seperti ini Pak?“, tanyaku sambil memandang ke dalam ruangan. Anak-anak itu sudah duduk rapi, masing-masing memegang Al Qur’an. Sambil mendengar ceramah, ada beberapa yang saling bercubitan, ada pula yang kecikikikan, ntah apa yang mereka tertawakan. Yang jelas sorot mata anak-anak itu tampak kocak, berarti ada sesuatu hal yang membuat mereka tertawa seperti itu.

Benar Dik, memang setiap selesai maghrib mereka berkumpul disini. Nanti setelah sholat Isya kami makan malam bersama” jawabnya sambil menyuguhkan segelas kopi hangat padaku.

Tapi ada juga beberapa yang masih tinggal di atas“, tambah beliau sambil mengarahkan telunjuknya ke lantai 2 panti itu.

Oh.., masih ada yang di atas ya Pak?“, tanyaku setengah heran. “Berarti penghuni panti ini banyak juga ya?” aku membatin. Soalnya ruangan aula tempat mereka berkumpul sekarang sudah terlihat ramai sekali. Perkiraanku lebih dari 70 penghuni panti sedang duduk bersila di ruangan itu. Kalau di atas masih ada berarti total keseluruhannya lebih banyak lagi dong.

Yatim Piatu
Mereka membuatku menangis

Sambil menyeruput kopi hangat itu aku minta izin ke beliau untuk naik ke atas. Soalnya sejak kecil aku belum pernah ke panti asuhan. Ada sebuah pertanyaan yang selalu hinggap di hatiku. “Bagaimana sih suasana di dalam panti asuhan?“. Beliau memberikan restunya dan mempersilahkan aku naik melalui tangga luar.

Aku naiki tangga itu satu persatu. Lantas terbayanglah dalam benakku seandainya aku terlahir sebagai yatim piatu, mungkin di tempat seperti inilah aku akan tumbuh dan besar. Begitu sampai di lantai dua, aku baca beberapa tulisan yang dicetak dengan ukuran teks yang besar. Isinya seputar peraturan-peraturan dan pengumuman. Di samping dinding yang penuh tulisan itu ada ruangan dengan pintu yang terbuka lebar. Agaknya itu adalah ruangan pengasuh panti. Tapi tak ada siapa-siapa disana. Barangkali sedang ikut bergabung di aula bawah.

Tak lama aku disitu, kaki ini lantas kubawa menelusuri koridor lantai 2 menuju kamar-kamar yang mulai terlihat jelas. Bangunan ini tak begitu besar. Di lantai dua tidak ada ruangan yang kosong. Kamar-kamar itu tersusun menjajar. Kira-kira ukurannya 4 x 6 meter. Lumayan besar juga. Dari daun jendela aku lihat masing-masing ruangan diisi empat sampai lima tempat tidur bertingkat. Ruangan kedua yang kutemui ini masih sepi dari orang. Hanya terlihat jejeran tempat tidur dari kayu, kasur-kasur dengan seprai berwarna kusam, baju-baju bergelantungan disana-sini. Aroma yang singgah dihidung terasa aneh. Aroma kehidupan bersama di satu tempat dalam jumlah yang banyak.

Kira-kira tiga atau empat kamar setelahnya terdengar suara beberapa bocah. Kuputuskan untuk menuju kesana saja. Ingin rasanya bertanya-tanya atau sekedar say hello.

Belum sampai langkahku menuju asal sumber suara itu. Tiba-tiba daun pintu ruangan yang kutuju terbuka. Tampaknya mereka mendengar langkah kakiku. Lalu keluarlah tiga bocah yang kira-kira usianya tiga atau empat tahun. Mereka berebut cepat untuk melalui pintu itu, lalu berlari berkelebat menujuku. “Ah.. tampaknya mereka sedang bermain kejar-kejaran“, tebakku dalam hati.

Tapi tidak, mereka tidak sedang bermain. Mereka berlari sambil menangis, berlomba untuk memeluk ayahnya. Sudah bertumpuk mungkin rasa rindu dalam hati mereka sehingga langkah bocah-bocah itu begitu bergelora untuk secepat kilat menuju pelukan ayah mereka. “Ayaaah..“, kata seorang anak menjerit. “Ayaaah…“, jerit yang satu lagi. Sementara si anak yang bertubuh paling kecil tak berteriak. Dia fokus mengerahkan seluruh tenaganya melawan cepatnya gerakan kedua anak yang lain.

Aku lihat kebelakang. “Siapa gerangan yang mereka sebut ayah itu?“. Tapi tidak ada siapa-siapa. Lantas siapa ayah yang mereka teriaki?

Tiba-tiba aku rasakan terjangan tiga orang anak sekaligus yang berlomba naik ke tubuhku sambil berteriak “ayah..!“. Entah bagaimana ceritanya, dua anak sudah ada dalam pelukanku. “Ini ayah Arif…“, teriak si bocah yang kugendong dengan tangan kananku. Wajahnya dibenamkannya ke leherku sambil melepas tangis dan berteriak “Ini ayah Arif..”. Rekannya satu lagi yang bertengger di tangan kiriku tak mau kalah. “Ga.., ini ayah Udin..“. Sementara si kecil yang kalah bersaing memeluk kakiku sambil menggapai-gapai agar diikutkan naik keatas seperti dua temannya. Pipinya telah basah dengan air mata. Tangisnya pun memecah naluriku untuk segera merengkuhnya.

Aku masih belum sempat berfikir, apa yang sedang terjadi ini? Eratnya pelukan mereka dan pilunya tangis kerinduan mereka membuatku hanyut dalam deru emosi yang mengaharu biru. Dalam benak mereka ternyata akulah ayahnya

Pelukan mereka begitu erat, sampai-sampai aku tak kuasa untuk bergerak. Cecep, si kecil yang kalah bersaing tadi belum sempat pakai celana saat keluar pintu itu. Ada benjolan besar di kepalanya, dugaanku itu tumor. Tangisnya Cecep yang paling menjadi. Arif dan Udin sudah merasa nyaman, sedang Cecep masih menangis pilu.

Aku turunkan kedua anak yang sedang kugendong. Tapi pelukannya itu loh,… seperti mengungkapkan padaku. “Jangan tinggalkan aku ayah…“. Aku tak punya cara untuk meyakinkan mereka bahwa aku bukanlah ayahnya. Tatapan mata mereka begitu menyayat hatiku. Tatapan yang berkata “Ayah… aku rindu“.

Masya Allah, sebegitu hebatnyakah siksaan psikologis yang mereka alami? Sehingga semua orang yang mereka temui dianggap ayah? Arif yang tadinya membenamkan kepalanya di leherku, kini sudah mulai menyelidi apakah orang yang di peluknya kini benar-benar ayahnya atau bukan. Di pegangnya kancing bajuku, dirabanya daguku, dan diperhatikannya wajahku dalam-dalam penuh selidik. Agaknya dia sudah mulai sadar bahwa aku bukan ayahnya. Barulah dekapan maut itu agak dilunakkannya.

Lebih dari 10 menit baru mereka ga ngotot lagi memelukku. Sebelumnya mereka bagaikan singa lapar, dan aku adalah mangsanya. Singa-singa itu tak mau melunakkan cengkramannya hingga sang mangsa sudah tak bernyawa lagi. Kuusap air mata mereka satu persatu, dan kini ganti air mataku yang mengalir.

Malam itu serta merta aku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini. Malam itu pula aku lantas telepon kedua orang tuaku nun jauh di sana. Mereka heran karena baru kali ini aku menangis saat nelpon. Kusampaikan rasa terimakasihku karena mereka sudah membesarkanku. Kusampaikan juga rasa terimakasihku kepada Allah yang memberikanku kesempatan bertemu dengan kedua orangtuaku secara utuh hingga saat ini.

Malam itu aku menangis.., sepanjang jalan Lembang menuju Bandung aku terus menangis. Tetes air mataku tak kunjung usai. Entah mengapa aku jadi melankolis sekali. Jiwaku tergugah. Teringat sebuah ayat yang hanya mampu kuhapal saja selama ini. Lewat pengangalaman di panti tadi, Allah telah memberikan penjelasan padaku tentang ayat yang hanya sangup kujahirkan saja sejauh ini.

“…Wa amma idzaa mabtalaahu faqadara ‘alaihi rizqahu, fayaquulu rabbi ahaanan. Kalla balla tukrimunal yatiim, wa laa tahaadhuna ‘ala tho’amil miskiin… ” (..Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezkinya, maka dia berkata ‘Tuhanku menghinakanku’. Sekali-kali tidaklah demikian!, Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin..) -Q.S Al Fajr : 16-8.

-suatu ketika di epok senja, 6 Agustus 2006 –

5 KOMENTAR

  1. He…he.. dulu saya mengasuh anak2 di daerah WTS di Jakarta. Nah…sering ada “anak-anak” haram yang lahir, kemudian saya tebus dari RS. Mereka nganggap saya ayahnya. Sehingga teman-teman curiga kok saya dipanggil sebagai ayahnya.
    Ya hikmahnya, kita harus menjadi pembuka pintu bagi masa depan mereka.

  2. Wah, senang sekali dikunjungi Kang Budhiana nih. Terimakasih Kang atas sambangannya. Mudah-mudahan kita bisa jadi kunci-kunci itu ya Kang. Amin…

  3. bagus sekali artikelnya, BTW itu di daerah mana tempat yatim piatunya..? artikelnya boleh saya COPAS ya ke blog saya… ^_^ terima kasih…

TINGGALKAN BALASAN